Bidadari-bidadari Surga by Tere Liye

Bidadari-bidadari Surga

Penulis: Tere Liye
Penerbit: Republika
Tahun terbit: 2008
Tebal: 365 halaman
Genre: Drama keluarga
Stew score: Tasteless!
Target: Teen (12 tahun ke atas!)

Aku pertama kali mengenal nama Tere Liye, tentu saja, melalui karyanya yang fenomenal: Hafalan Shalat Delisa, olahan fiksi tapi bisa terasa nonfiksi, yang bikin lidahku tak pernah sepi dari banjir rasa senang, sedih dan iba. Tapi buku itu juga bikin aku kecewa. Tak sesuai seperti ekspektasiku. Tak membuatku kepedasan (baca: menitikkan air mata) sama sekali. Sementara aku merinding berulang kali tiap melihat cuplikan filmnya.

Lalu aku melihat behind the scene film adaptasi Bidadari-bidadari Surga. Sama bagusnya dengan cuplikan film HSD dan sama-sama menerbitkan air liurku untuk mencicipi bukunya. Namun, sekali lagi aku merasa kecewa.


Tapi sebelum membahas kekecewaanku, kita bahas dulu isi "hidangan" yang diberi judul Bidadari-bidadari Surga ini.

Namanya Laisa. Gemuk, pendek, hitam, berambut keriwil... Pokoknya secara fisik dia itu jelek banget deh. Sampai-sampai dia dianggap pembantu saat mendaftarkan adiknya sekolah. Laisa punya empat adik: Dalimunte (si pintar), Ikanuri dan Wibisana (meski bukan kembar, mereka selalu kemana-mana berdua, duo pembuat onar), Yashinta (si, err, manis). Meski secara fisik tidak mengundang mata untuk melihat, Laisa ini berhati baik. Dia mau berkorban demi adik-adiknya: berhenti sekolah, membantu Mamak (ibu) bekerja untuk membiayai hidup.

Penasaran tidak kenapa Laisa sempat dianggap pembantu saat mendaftarkan adiknya ke sebuah sekolah? Ya memang secara fisik dia... Tidak begitu cantik. Tapi ada hal yang membuatnya dianggap seperti itu. Laisa memang berbeda dibanding adik-adiknya sebab dia... Bukan kakak kandung mereka.

Semua orang tahu soal itu. Tapi hanya Ikanuri yang berani (atau tega) mengatakannya di satu waktu saat dia dimarahi Laisa.

Oh iya, satu lagi kegiatan Laisa selain membantu Mamak bekerja: mengingatkan, atau bagi si duo bandel mengejar-ngejar, adik-adiknya agar tetap sekolah atau melakukan sesuatu yang benar. Dan terkadang Laisa bertindak cukup keras dalam melakukannya.

Saat adik-adiknya masih kecil, mungkin ada yang dongkol dan kesal dengan sikap Laisa, tapi mereka baru mencecap manisnya manfaatnya saat mereka telah dewasa. Mereka semua jadi sukses!

Dalimunte menjadi seorang cendekiawan terkenal melalui teorinya bahwa bulan pernah terbelah. Bahkan dia jadi fisikawan termuda sedunia di usianya yang masih 34 tahun! (Atau usianya yang ke-37? Atau usianya yang ke-39? Atau usianya yang ke-41?) = Penasaran dengan kalimat di dalam kurung? Baca terus sampai bawah untuk menemukan jawabannya :p

Ikanuri dan Wibisana jadi pengusaha sukses yang usahanya telah merambah pasar internasional.

Yashinta, ah, bagian dewasanya tak mendapat banyak sorotan. Kalau tidak salah ingat, kalau dia bukan mahasiswi dia adalah peneliti satwa-satwa liar.

Mereka sedang berada di empat tempat berbeda. Laisa (dan Mamak) ada di kampung halaman (entah di mana). Dalimunte sedang ada di kota besar, sedang akan memberi ceramah pada jutaan mahasiswa dan koleganya dan orang-orang asing. Ikanuri dan Wibisana baru sampai di Italia, mereka akan mengadakan pertemuan dengan klien mereka. Yashinta ada di gunung Semeru, sedang memotret burung alap-alap kawah.

Plot dimulai saat keempat adik Laisa mendapat sms yang sama dari Mamak: "Kak Laisa sakit parah."

Keempat orang itu pun kalang-kabut, membatalkan acara yang mereka (harusnya) hadiri, dan buru-buru memesan tiket pesawat pulang ke kampung halaman demi melihat kakak tersayang mereka.

Secara garis besar, harusnya ceritanya mengharukan dan bikin lidah kelojotan karena kepedasan (baca: nangis bombay). Aku lihat di goodreads, banyak orang sudah kepedasan. Tapi, mungkin karena lidah orang desa, jadi aku sudah terbiasa dengan sambal yang pedasnya mengalahkan sambal (kemasan) paling pedas merk terkenal...

Err... Jun, kita tidak sedang membahas makanan secara harfiah, bukan?

Pokoknya intinya gitu. Aku sama sekali tidak terharu sama sekali. Satu-satunya reaksiku adalah tertawa pada salah satu humor yang dilontarkan oleh si duo sigung (aka si nakal aka si badung). Selebihnya datar karena nafsu makanku hilang.

Penyebab nafsu makanku hilang adalah inkonsistensi beberapa fakta mengenai tokohnya dan beberapa adegan yang, menurutku, harusnya bisa disederhanakan—sehingga bisa hemat halaman.

Aku bahas dari belakang.

Salah satu adegan yang bisa disederhanakan adalah saat Dali mempresentasikan desain kincir airnya untuk irigasi. Dikisahkan di situ, penduduk desa dulu pernah mencoba membuat kincir air dan gagal. Kalian pasti bisa menebak kalimat kontra pertama apa yang meluncur dari audience, kurang lebih sekitaran apakah bisa berhasil atau kalimat-kalimat bernada keraguan. Tapi tebak apa kalimat pertama yang terlontar dari salah satu peserta? Kalimat yang mempertanyakan apa fungsi kincir air!

Okelah, hal itu bisa saja terjadi. Jadi... Bilang saja, aku saja yang riwil.

Lanjut ke perusak nafsu makan nomor dua: inkonsistensi fakta tokoh.

Pada sebuah narasi yang berkisah soal Dalimunte, di salah satu narasi tertulis... "Ia belum pernah diajak-ajak ke ladang... kata Mamak ia masih terlalu kecil", namun di bab selanjutnya, dan adegan ini menggunakan timeline keesokan harinya, tertulis... "Diam-diam melakukannya saat membantu Mamak di ladang..."

Dua kalimat mengenai Dalimunte itu jelas kontradiktif. Di kalimat pertama, sangat jelas sekali Dali tak pernah (atau jarang-lah, minimal) menginjakkan kaki di ladang. Atau kalau dia ke ladang, setidaknya tidak untuk membantu Mamak. Tapi kalimat kedua mengindikasikan seolah Dali sering ke ladang.

Tapi itu masih belum seberapa bila dibanding perusak nafsu makan nomor satu versiku: inkonsistensi umur para tokohnya.

Oh iya, sebelum lanjut, perlu diketahui timeline Bidadari-bidadari Surga dibagi dua: masa kini (ketika para tokoh utamanya sudah tua) dan masa lalu (ketika para tokoh utamanya masih kecil).

Kita lanjut lagi. Di satu narasi, umur Laisa dan Dali beda empat tahun. Malah terang-terangan saat Babak (ayah) mereka meninggal, umur semua anak disebut, Laisa 8 tahun, Dali 4 tahun, Wibi dan Ika 2 tahun dan Yash masih dalam kandungan. Malah di lembar-lembar awal, ditulis Laisa berumur 16 tahun dan Dali 12 tahun (pas adegan di mana jelasin kincir air). Tapi di narasi lain, dijelaskan Laisa dan Dali berbeda 6 tahun. Dan kemudian ini berlanjut, Laisa umur 20 dan Dali umur 14 tahun.

Di adegan lain dikatakan Ikanuri menyesal dengan peristiwa 25 tahun silam, tapi itu aneh. Ketika melakukan hal yang bikin dia menyesal, umurnya saat itu 10 tahun. Anehnya di mana? Karena Dali kebagian adegan-adegan awal, dan usia 34-nya disinggung sebagai yang termuda, jadi jelas aneh bukan mendapati adik yang harusnya 2 tahun lebih muda umurnya lebih tua setahun?

Dan semakin ke belakang, masalah umur ini kian parah. Tiba-tiba Laisa dan Dali beda 5 tahun. Lalu giliran Dali dan si "kembar tapi tidak kembar" yang jadi beda 3 tahun (oh iya, kalo menurut pemahamanku Wibi dan Ika ini beda kurang lebih 11 bulan). Dan lebih dahsyatnya lagi, perkara umur ini sering sekali dibahas! Setelah perubahan beda umur antara Wibi dan Yash jadi tiga, aku sudah malas mengikuti soal umur ini dan... Bisa dikatakan aku pengen segera kelarin novel ini.

Bagaimana pun caranya.

Alhasil, aku pun makan cepat—tapi tidak lahap.

Secara keseluruhan, yah, aku rasa tak perlu disebutkan gimana rasanya buku ini di lidahku. Bidadari-bidadari Surga jelas bukan buku yang pas di piringku. Sejak gigitan-gigitan awal, aku sudah tidak sreg dengan cara penyajian penulis. Bagi sebagian orang, kisahnya yang menghanyutkan mungkin cukup, hingga tak mempertanyakan adegan-adegan ganjil yang bermunculan sepanjang cerita. Salah satunya adalah adegan ketika Laisa memergoki Dali di sungai, kenapa Laisa tidak menanyakan perihal kincir air padahal dia bertanya berulang-ulang alasan kenapa Dali di situ? Atau mungkin saking marahnya Laisa tak melihat kincir itu?

Tapi tidak bagiku.

Inkonsistensi waktu sangat fatal bagiku, yang kemudian langsung merusak nafsu makanku. Ditambah lagi ada "pemaksaan" untuk menyukai tokoh. Si tokoh ini, begini-lah, si tokoh itu begitu-lah. Si A mau berkorban. Si B. Seandainya tidak diulang-ulang terus, mungkin tidak akan jatuh seperti "pemaksaan." Dan ini hanya kecurigaanku saja, karena Hafalan Shalat Delisa memiliki rasa "nonfiksi", kemunculan penulis di sini (yang sampai benar-benar menyebut namanya, yang awalnya aku kira buku ini menggunakan POV orang ketiga saja) tampaknya ingin mengulang formula yang sama.

Tapi terlepas dari itu semua, ada dua hal di dalam Bidadari-bidadari Surga yang cukup memukauku: a) anak-anak Dali, dan "si kembar" meski usianya masih di bawah 10 tahunan sudah mainan email, b) Petugas kereta api Italia yang tampaknya sangat cinta Indonesia. Tak seperti sebagian besar orang luar, dia tahu Bali itu di Indonesia! Dan yang lebih dahsyatnya lagi, dia sampai hapal kualitas tim sepakbola Indonesia!

Omong-omong, buku ini sempat membuatku bersusah payah mencari info profesor fisika termuda dunia lho. Untuk membuktikan, apakah Dalimunte bisa disebut profesor fisika termuda. Dan ternyata... Masih ada yang lebih muda! Bila menggunakan tahun terbit buku, di dunia nyata ada fisikawan termuda dunia dan usianya di tahun 2008 adalah 31 tahun, sementara usia Dali yang "paling muda" 34 tahun. Jadi, bila dibandingkan dengan HSD, rasa "seolah nonfiksi"-nya BBS ini bisa dikatakan kurang kuat. Padahal dibandingkan HSD, BBS ini terang-terangan memasukkan nama penulisnya sebagai narator.

Dan omong-omong (lagi), sebagai seseorang yang masih awam, ada satu hal yang masih bikin aku penasaran, "Apakah mahasiwa kedokteran semester akhir diperbolehkan menyuntikkan obat pada pasien?"

Jadi, bagi kalian yang, tidak suka memperhatikan detail, suka dengan kisah drama keluarga dengan tema besar pengorbanan dan tema dari zero to hero, maka mungkin kalian akan suka dengan Bidadari-bidadari Surga :)

Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::
| |

0 comments:

Posting Komentar

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!