Saman by Ayu Utami

Di taman ini, saya adalah seekor burung.
— kalimat pertama Saman, halaman 1.

Pertama kali tahu soal Saman adalah ketika ada novel lain, yang aku lupa judulnya, yang jelas novel itu novel remaja Indonesia, menyebut novel itu. Saat itu aku belum tahu mengenai penghargaan yang didapatnya. Dan karena saat itu aku masih lugu, dan taat pada himbauan orangtua (?) agar menghindari hal-hal yang baru boleh diketahui saat aku cukup umur (oh iya, meski aku tidak ingat judul buku tersebut, aku masih ingat ekspresi para tokohnya: senyum yang menangkap basah, rasa bersalah karena ketahuan, jadi ya aku mengira itu novel dewasa yang memiliki adegan yang butuh kipas), maka meski ada secuil rasa penasaran, aku tak pernah mentjari tahu.


Lagipula, walaupun aku penasaran pakai dewa hal itu pertjuma saja. Kala itu aku belum tersentuh internet. Warnet juga belum menjamur seperti saat ini.

Lalu, aku jatuh terlalu dalam ke dunia buku (satu hal yang sama sekali tidak kusesali dalam hidupku). Aku mulai mengenal klasik, aku mulai mengena sastra. Dan buku berjudul Saman ini kembali padaku. Belum sempat aku mentjari tahu lebih dalam, ketjuali bahwa Saman memenangkan beberapa penghargaan, aku setjara tak sengaja mendapat kesempatan untuk mengadopsinya.

Berkat Bangrob dan Kak Dina, yang mengadakan GA bertema mantera, aku bisa mengadopsi buku ini—dan beberapa buku lainnya.

Kesan pertama setelah aku selesai membatja buku ini: Saman pantas mendapatkan penghargaannya. Buku ini memang bagus sekali. Dan ya, buku ini memang buku untuk orang dewasa. Kendati lebih ke pemikiran, bukan adegannya—tepatnya adegan yang melibatkan dua orang yang saling “terbuka” satu sama lain. Atau aku membatjanya saat pikiranku sudah dewasa sehingga aku tak merasa terganggu dengan kedewasaan yang dikandung buku ini? Mungkin juga.
Sebenarnya Saman bertjerita soal apa sih, Jun?
Hnn, jujur, aku bingung bagaimana merangkumnya. Ceritanya agak terkesan nggak fokus. Ditambah lagi buku ini tidak dilengkapi dengan blurb yang ditempelkan di punggung buku. Sayang sekali. Padahal masih ada tempat untuk menaruh sinopsis singkat di punggung buku tersebut tepat di sebelah pujian-pujian untuk Saman. Aku masih ingat betul pikiran pertama yang hinggap di benakku saat memegang buku ini untuk pertama kalinya, dan tak menemukan sinopsis, Apa mungkin buku ini tentang tari Saman?

Ternyata, bukan. (Iyalah! XD)

Singkatnya, Saman ini nama lelaki salah satu tokoh di buku ini. Salah satu tokoh utama. Atau tokoh yang menjadi pusat perhatian tokoh utama yang lain.

Buku ini dibuka dengan sudut pandang seorang perempuan yang sedang menunggu seorang lelaki, yang seharusnya (atau menurut pandangan norma yang baik) tidak dicintainya. Apakah lelaki beristri ini merupakan Saman? Bukan. Lalu, apa hubungan antara perempuan ini dengan Saman? Mereka berteman.

Dari pertemanan itu kita digiring untuk mengenal Saman. Tentang kelahiran, tentang masa mudanya yang awalnya sangat super religius, tentang ia yang kemudian menjadi aktifis, dan tentang hal-hal lainnya yang terjadi di kawasan Sumatera Selatan di rentang waktu 1980-an sampai 1990-an.

Selain gaya bertjerita Ayu Utami yang oke punya (sebagian mungkin akan kesulitan karena penggabungan PoV orang pertama dan PoV orang ketiga yang kurang begitu mulus perpindahannya), kisah Saman tersebut menjadi kekuatan utama novel ini. Tidak heran bila kemudian namanya diabadikan sebagai judulnya. Kisah Saman ini mengkritisi banyak hal. Dari hal yang pasti dihindari untuk dibahas, hal yang akan terus jadi perdebatan, hal yang membutuhkan pikiran terbuka, perihal keadilan, perihal bagaimana dunia bekerja, dan sekelumit sejarah (yang jujur dan, mungkin, tanpa filter atau bisa juga merupakan rekaan dari kejadian sebenarnya yang terjadi di) negara kita tercinta.

Tentu ada kisah romansanya. Awalannya saja merupakan kisah romansa, kan? Itu bukan satu-satunya. Masih ada yang lain. Tapi, bagiku yak, kisah-kisah itu hanyalah pemanis saja. Sebab intinya (atau, bila kisah ini tak memiliki inti, bisa disebut bagian terbaiknya) ada di dikisahnya Saman itu.

Perlu dicatat, romansanya bukan romansa biasa. Bila kalian suka bahasa yang nyastra, atau tingkat tinggi, sangat mungkin sekali kalian akan menyukai kata-kata yang digunakan oleh para tokohnya.

Pengunaan kata-kata sastra di romansanya tampaknya bukan karena para tokohnya punya kecenderungan sastra, tapi, menurut dugaanku, mungkin karena para tokohnya hidup di tahun 80-90-an yang mana mungkin kata-kata tinggi seperti itu cukup lazim digunakan di keseharian.

Terakhir, untuk desain sampul. Desain yang sebenarnya paling aku inginkan itu desain yang ini:


Sampul yang sangat menggoda sekali, bukan? Sayangnya, yang kudapat yang versi sampul ini:



Desain di atas itu, yang mengejutkan, tidak ada di database Goodreads, portal daring perbukuan sedunia. Jangan-jangan itu buku bajakan lagi?! Tapi untuk buku bajakan, buku ini cetakannya bagus. Semoga bukan buku bajakan.

Tapi desain itu masih mending sih, bagiku, dibanding yang terbaru:


Mungkin yang terbaru ini simbol-simbolnya memberi gambaran apa yang dikandung (?) Saman. Tapi yah, masalah selera.

Katanya, bukan orang Indonesia kalau belum batja Saman. Berani mentjoba membatjanya?

Saman
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun terbit: 2002
Tebal: X + 198 halaman
Seri: Saman Larung #1
Genre: Romance - Indonesian Literature
Score: Yummy!
Target: Adult (17 tahun ke atas!)

Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::

0 comments:

Posting Komentar

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!