The Night Circus by Erin Morgenstern

The Night Circus

Penulis: Erin Morgenstern
Penerbit: Mizan Fantasi
Tahun terbit: 2013
Tebal: 612 halaman
Genre: Fantasi - Romance - Misteri
Target: Young adult (16 tahun ke atas)
Score: Yummy!

Kalimat pertama The Night Circus

: Sirkus itu datang tanpa pemberitahuan.

Aku pertama kali tahu soal The Night Circus dari ... semua orang di luar sana yang membicarakannya.

Dan kebanyakan dari mereka menyukainya.

Dan kebetulan pula covernya yang bernuansa hitam putih juga menggoda.

Jadi ketika Mizan Fantasi mengumumkan mereka akan menerbitkan versi terjemahan The Night Circus, aku menyambut kabar itu dengan baik. Dan antre untuk mengadopsi buku tersebut ketika resmi rilis.

The Night Circus, dari judulnya, sudah kelihatan kalau buku ini, berkisah mengenai sirkus yang diadakan di malam hari. Sesuatu yang jelas-jelas menjanjikan hal-hal yang ajaib dan penuh misteri. Nama sirkus itu adalah Le Cirque des Reves. Dan semenjak kemunculannya, sirkus itu telah menjadi buah bibir banyak orang.

Namun ada sesuatu yang sangat rahasia terjadi di dalam sirkus malam itu.

Bukan, bukan karena Le Cirque des Reves bukan sirkus biasa. Semua orang, semua yang pernah memasukinya, tahu sirkus itu sirkus yang luar biasa. Bukan pula wahana-wahana ajaibnya, seperti Labirin Awan. Bukan pula karena mereka menyajikan sari apel paling lezat di seantero dunia. Bukan pula hal-hal ajaib lainnya. Hal paling rahasia, yang bahkan pemilik sirkus itu sendiri tidak mengetahuinya, adalah adanya kompetisi antara dua penyihir di dalamnya.

Dua penyihir yang saling kenal, tapi sekaligus tidak saling kenal karena guru mereka, petarung sebenarnya, enggan memberitahukan seseorang yang akan jadi lawan mereka. Selama bertahun-tahun, kedua penyihir kita, Celia dan Marco, berusaha menjadi salah satu pemenang lewat berbagai wahana dan atraksi: panggung ilusi, selubung sihir, api unggun seputih salju, binatang-binatang dari kertas. Tapi keduanya berimbang. Tidak ada yang benar-benar menang, tidak ada yang benar-benar kalah. Tapi mereka pun tidak bisa yakin siapa yang menang dan yang kalah karena dewan jurinya adalah kedua guru mereka.

Namun kemudian, kompetisi itu menjadi sedikit rumit. Dua pesertanya, tanpa bisa dicegah, usaling jatuh cinta.

"Chandresh baru saja mempekerjakannya sebagai ilusionis di sirkus."
"Benarkah?" tanya Isobel. Marco tidak menjawab. "Jadi, dia akan mengerjakan apa yang menurutmu dikerjakan oleh ayahnya, menampilkan sihir murni yang disamarkan sebagai ilusi panggung. Itukah yang dilakukannya saat audisi?"
"Ya," jawab Marco tanpa mengangkat pandangan dari bukunya.
"Dia pasti sangat hebat."
"Dia terlalu hebat," ...

Pada awalnya, ketika aku baru memulai membaca buku ini, dan dalam kondisi sudah mencicipi testernya (baca: blurb), aku mengira akan mendapati kisah mengenai dua orang magicians (pesulap) yang bersaing diam-diam dalam mendapatkan banyak penonton. Mereka berkompetisi mana yang lebih baik dari mereka, mana yang jelas-jelas memberikan keuntungan yang besar pada sirkus. Tapi ternyata arti magicians itu sendiri salah kuartikan. Alih-alih pesulap, mereka berdua benar-benar ahli sihir!

Di awal-awal bab, kita sudah diperlihatkan kemampuan Celia yang tidak biasa. Berbakat sejak awal. Dan deskripsi Erin untuk ini ... wow, bikin aku iri, membuatku ingin sekali punya kemampuan seperti Celia, membuatku bertanya-tanya, 'Apakah Celia itu mutan?'

Iya, alih-alih membayangkan Celia sebagai penyihir seperti Harry Potter, aku malah lebih membayangkan dirinya sebagai mutan. Kemampuannya mirip seorang telekinesis! Dia mengangkat benda, menghancurkannya, dan mengembalikannya ke bentuk semula hanya dengan pikirannya sendiri!

Gimana mungkin itu bukan telekinesis?!

Tapi bab-bab awal ini juga masih meraba-raba. Entah kalau di edisi aslinya, tapi di edisi terjemahan ini, di awal-awal, emosi Celia terasa datar sekali. Padahal di dalam narasinya, dia digambarkan sebagai anak yang sangat emosional. Dia menangis di beberapa bagian, tapi tangisan itu terasa hampa.

Tapi bisa juga itu memang sengaja dibikin begitu oleh Erin. Atau bisa pula memang itu kelemahan (?) Erin. Dia masih kurang oke dalam menggambarkan adegan sedih. Sebab di bagian Marco, hal itu tidak terjadi. Sebab di penggambaran emosi lain, seperti marah dan rasa frustrasi, deskripsi Erin tidak mengalami masalah.

Tapi hal itu semakin membaik seiring bertambahnya jumlah bab.

Selain bab-bab yang menguntai kisah Celia dan Marco, ada bab-bab khusus yang ditujukan langsung kepada pembaca menggunakam sudut pandang orang kedua (yang sebenarnya tidak penting-penting amat, menurutku, tanpa part ini aku rasa aura mistis dan magis bakal tetap terasa), dan ada bab-bab lain yang terjadi di masa depan (tenang saja, selalu ada keterangan waktu di tiap awal bab), yang baru akan masuk akal ketika menjelang-jelang bab akhir.

"Aku tak bisa menunggu selama ini untuk menemuimu."

"Aku juga senang bertemu denganmu," ujar Celia lembut. Dia mengulurkan tangan dan meluruskan pinggiran topi Marco.


"Kau menyukai Labirin Awan?" tanya Marco, menggenggam tangan Celia.
...
...
...
"Apakah kau datang untuk menunjukkan ilusi menakjubkanmu?" tanyanya.

"Itu bukan agendaku untuk malam ini, tapi kalau kau mau ..."

"Kau sudah menonton pertunjukanku, jadi ini adil."

"Aku akan dengan senang hati menontonmu semalaman," kata Marco.

Kekuatan utama di The Night Circus adalah aura mistis dan magisnya. Aku sendiri tak bisa menggambarkannya dengan baik, tapi kalau kalian membacanya sendiri, kalian akan mengerti. Kita seperti dibawa masuk ke dalam sirkus itu, menyaksikan keajaibannya, bertanya-tanya bagaimana mereka melakukannya, apakah yang mereka tampilkan benar-benar sihir? Tidak, tidak mungkin itu sihir, pasti ada trik di baliknya. Apa kira-kira trik yang mereka gunakan? Tapi meski pertanyaan itu tak terjawab, hal itu bukanlah masalah besar. Selama aku bisa mengunjungi sirkus ini berulang kali, hal itu bukanlah masalah besar.

Seperti itulah kesanku pada The Night Circus.

Entah bagaimana Erin melakukannya, tapi dia melakukannya dengan sangat baik.

Tapi meski aura itu menguar kuat, tidak sama halnya dengan tokoh-tokohnya. Setidaknya bagiku. Celia dan Marco, meski kemampuan mereka menakjubkan, meski kisah kasih mereka manis dan menggetarkan, meski chemistry mereka bikin termelek-melek (?), tidak ada yang membuat mereka terasa istimewa bagiku. Mereka hanya terasa seperti orang biasa yang biasa ditemui di jalan, diajak mengobrol sebentar, tapi kemudian dilupakan. Mereka mudah diingat karena yah sederhana, karena mereka berdua tokoh utamanya. Begitu pula dengan tokoh-tokoh lainnya. Terasa menghilang seiring berjalannya waktu.

Tapi siapa tahu Erin memang sengaja membuatnya seperti itu. Maksudku ada tokoh yang sengaja tidak ingin dikenal oleh siapapun. Seorang tokoh yang menganggap nama itu overrated. Seorang tokoh yang mengagungkan anonimitas. Jadi mungkin sekali bukan Erin sengaja melakukannya?

Celia mengangkat bahu. "Aku kesulitan menemukan apa yang sebaiknya kupakai."
"Kau cantik," kata Marco.

"Terima kasih," jawab Celia, menghindari tatapan pria itu. "Kau pun tampan. Aku lebih menyukai wajah aslimu."
...
"Bukankah itu agak berisiko untuk dilakukan di tengah keramaian ini?" tanya Celia.

"Aku melakukannya hanya untukmu," kata Marco, "Orang lain akan melihatku seperti biasanya."

Terlepas dari itu semua, seandainya The Night Circus diadaptasi ke layar lebar, aku merupakan salah satu orang yang pasti menontonnya. Dengan teknologi efek visual yang semakin canggih aku yakin keajaiban-keajaiban yang tertuang di setiap lembar The Night Circus bakal dengan mudah diwujudkan dan memanjakan tiap mata penontonnya di seluruh dunia.

2 comments:

  1. Balasan
    1. Jual sih, kak dulu. Tapi sudah habis. Dan dari penerbitnya pun juga sudah tidak berjualan lagi.

      Hapus

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!