Emma
Penulis: Jane Austen
Penerbit: Qanita
Tahun terbit: April 2015 (cetakan ketiga)
Tebal: 740 halaman
Genre: Klasik - Historical Fiction - Romance
Target: Young adult (16 tahun ke atas)
Score: Yummy!
Kalimat pertama Emma
: Emma Woodhouse adalah seorang yang cantik, pandai, dan kaya.
Emma adalah salah satu penghuni baru rak (atau lemari) bukuku.
Kalau bukan karena ikut event GA yang diadakan mbak Dyah Agustine, dan secara tak sengaja mendapati quote-quote dari novel ini terdengar kocak, mungkin buku bersampul molek (?) ini masih akan terbungkus segel, dan mungkin butuh waktu lama bagiku untuk "sadar" bahwa aku punya buku berjudul nama orang ini, hahah.
Emma, seperti judulnya, berkisah mengenai kehidupan Emma Woodhouse yang, seperti kalimat pembuka dalam buku setebal 740 halaman ini, maha sempurna. Dia cantik, dia pandai, dan dia terlahir sebagai seorang gadis yang berkecukupan. Diberkati dengan kelebihan yang bikin iri orang manapun itu tidak membuat Emma menjadi pribadi yang sombong. Dia tidak menyombongkan kecantikannya. Dia tidak menyombongkan kepintarannya. Tidak pula dia membangga-banggakan kekayaannya. Terdengar so Mary Sue, ya? Tapi percaya padaku, Emma jauh dari kesan Mary Sue.
Kendati Emma tidak sombong pada tiga kelebihan yang jadi tolak ukur masyarakat, Emma punya kesombongan dalam bentuk lain. Yakni, dia terlalu percaya diri dengan penilaiannya sendiri pada orang lain. Dia mudah sekali men-judge orang lain. Tetangga A terlalu banyak omong. Tetangga B tampaknya punya perasaan pada seseorang yang tidak semestinya. Dan seterusnya.
Selain satu sifat itu, Emma yang merasa tidak butuh cinta dan pernikahan suka sekali menjodoh-jodohkan orang. Kesuksesannya dalam menjodohkan pengasuhnya, yang sekaligus sahabatnya, dengan seorang pria terhormat membuatnya besar kepala, membuatnya menyatakan diri bahwa dirinya berbakat dalam menyatukan cinta sejati.
Berbekal dengan keyakinan itu, tanpa mengindahkan peringatan sahabatnya, Mr. Knightley, saat dia bertemu dengan Harriet, gadis seusianya dengan status yang tidak begitu jelas tapi punya sikap yang baik, Emma bertekad untuk menjodohkannya dengan seorang pria terhormat kenalannya. Berhasilkah Emma?
Sayangnya tidak. Usaha menjodohkan itu justru berbuah malapetaka. Mungkin tidak untuk Emma. Tapi untuk Harriet ... selain malu, dia mendapati hatinya menjadi patah. Dan itu karena Emma salah menilai, salah menduga, terlalu percaya diri mengartikan pertanda. Padahal yang dijodohkannya dengan Harriet sebenarnya justru menaruh hati pada Emma.
Nah, lho.
"Aku belum pernah jatuh cinta. Itu bukan tujuanku, tidak sesuai dengan sifatku, dan kurasa akan terus seperti itu."
Saranku sebelum membatja buku ini, jangan membatja sinopsis yang tercetak di sampul belakang. Bukannya sinopsisnya jelek atau tidak bikin penasaran; sinopsisnya bagus dan bikin penasaran apalagi kalau kalian suka dengan cerita-cerita dengan tokoh utama mak comblang, dijamin bakal langsung membawa Emma ke kasir (?) Aku menyarankan hal ini karena menurutku sinopsis itu sedikit menspoiler plot puncak buku ini.
Tidak salah tentu saja. Karena dibanding plot lain, plot yang disinggung di sinopsis adalah plot yang paling bikin penasaran. Tapi plot ini baru muntjul setelah 3/4 buku lebih terlewati. Iya, jadi 740 halaman dan plot ini muncul bukan di halaman-halaman awal.
Dibanding Pride and Prejudice, dan tentu saja Pride and Prejudice and Zombies xD, Emma menurutku memiliki plot dan masalah yang sedikit lebih rumit. Chemistry protagonis dan love interest-nya juga jauh lebih terasa dibanding chemistry Elizabeth dan Mr. Darcy. Mungkin karena di Pride and Prejudice porsi Mr. Darcy sedikit. Dan kehadirannya di sekitar Lizzy juga kurang banyak. Dan Lizzy sendiri begitu tahu apa yang dilakukan Mr. Darcy langsung terposena (?) dan pendapatnya berubah secara mendadak. Beda dengan Emma yang koneksi ke love interestnya diperkenalkan ke pembaca sedikit demi sedikit. Dan porsi si love interest ini juga cukup banyak karena dia sering hadir di hidup Emma. Jadi ketika Emma tersadar, seperti yang tertulis di sinopsis di sampul belakang, kesan mendadaknya tidak terasa ... semendadak kesadaran yang menghantam Elizabeth Bennet di Pride and Prejudice.
Meski aku akui, kedua novel itu memiliki penggambaran karakter (ada yang suka banyak omong, ada yang suka pamer, dan seterusnya), suasana (sopan santun dijunjung tinggi, para tokohnya mengucapkan kalimat panjang-panjang, pujian meluncur mulus seolah bagian dari hidup, dan seterusnya), dan setting (kereta kuda dan gaya bertutur seseorang menunjukkan kelas seseorang tersebut, dan seterusnya) yang sangat kuat.
"Sangat tidak adil untuk menilai perbuatan seseorang tanpa mengetahui kondisi mereka yang sebenarnya. Tak seorang pun, yang belum pernah masuk ke dalam keluarga itu, dapat berkomentar tentang kesulitan yang dihadapi anggota keluarga yang mana pun."
Emma adalah buku Jane Austen kedua yang kubaca. Dan dari dua buku ini ada beberapa hal yang menurutku sama. Yang pertama settingnya. Baik Pride and Prejudice, keduanya berlokasi di daerah pedesaan yang nyaman dan tenteram. (Mungkinkah keluarga Jane Austen tinggal di daerah pedesaan?) Kemudian yang kedua, meski Mr. Bennet tidak seekstrim Mr. Woodhouse, kedua ayah dari tokoh protagonis kita ini sama-sama lebih suka berada di rumah mereka daripada pergi keluar. (Apakah ayah dari Jane Austen seorang yang suka mengurung diri di rumah?) Yang ketiga, ada tokoh bernama Jane dan tokoh yang mendapat nama ini selalu diberkahi wajah yang rupawan yang jauh melebihi kecantikan tokoh utama, dan keduanya memiliki sifat pendiam. (Mungkinkah itu Jane? Dan bila ita, mungkinkah itu cara Jane Austen memasukkan dirinya dalam karya-karyanya?)
Entah kesamaan itu selalu ada di tiap novel Jane Austen, atau hanya ada di Emma dan Pride and Prejudice, yang jelas aku sangat menikmati membaca Emma. Dan dari sekian banyak novel klasik keluaran Qanita yang menggunakan gambar orang di sampul depannya, mungkin hanya Emma ini yang aku suka. Gambar mereka terasa pas. Dan enak juga untuk dipandang. Gambar yang mungkin bisa dijadikan pedoman sebagai relationship goal! XD
Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::
Belum baca karya Jane Austen dan rasanya saya nggak mau baca, halamannya gilak kali, 740 halama. Saya paling bisa bertahan maksimal 350 halaman.
BalasHapusYah, kenapa? Padahal diantara banyak karya klasik, yang umumnya memang super tebal, karya Jane Austen itu yang paling mudah untuk dibatja :3
Hapus:'D
BalasHapusAku lebih suka Mr. Knightley daripada Mr. Darcy...
Sama, mabk Dy :))))
Hapus