The Giver
Sang Pemberi
Penulis: Lois Lowry
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2014
Tebal: 232 halaman
Seri: The Giver Quartet #1
Target: Young Adult (16 tahun ke atas!)
Score: Delicious!
Kalimat pertama The Giver
: Saat itu menjelang Desember, dan Jonas mulai merasa takut.
Aku lupa darimana aku mengenal The Giver.
Bisa jadi aku mengenalnya dari adaptasi filmnya (yang dibintangi kembaranku, Brenton Thwaites), sebab aku menontonnya terlebih dahulu. Bisa juga karena melihat judul buku ini dalam daftar buku dystopia terbaik di Goodreads. Atau bisa pula karena pemberitahuan Gramedia lewat linimassa-nya kalau telah menerbitkan buku ini dengan cover yang menarik. Atau bisa juga disebabkan hal lainnya. Aku tidak bisa mengingatnya lagi dengan jelas. Yang bisa kuingat jelas, bahwa aku membacanya di bulan Oktober tahun ini dan aku suka sekali dengan The Giver.
Oh ya, The Giver kerennya super mahadewa!
Padahal beberapa kenalan di Goodreads seringnya menilai buku ini biasa aja dibanding dystopia lainnya. Pace-nya juga lambat dan nyaris tanpa adegan action. Bagiku? Aku tidak setuju dengan mereka. The Giver adalah salah satu dystopia yang jauh lebih matang dibanding beberapa dystopia YA yang akhir-akhir ini membanjiri pasar. Mungkin memang benar aksinya kurang banyak, lari-larinya tidak seintens buku lainnya, tapi The Giver memberi gambaran yang jelas bagaimana sebuah dunia itu sempurna bagi kehidupan.
Dan bahwa kesempurnaan pun bisa jadi penjara juga.
Tetapi Tetua Kepala melewatkan Jonas. Dia melihat teman-teman satu kelompok menatapnya dengan malu, kemudian cepat-cepat mengalihkan pandangan. Dia melihat ekspresi cemas di wajah pemimpin kelompoknya.
Jonas membungkukkan bahu dan berusaha menciutkan badannya di kursi. Dia ingin menghilang, memudar, tidak lagi nyata. Dia tidak berani berbalik dan memandang orangtuanya di tengah kerumunan. Dia tidak sanggup melihat wajah mereka menggelap karena malu.
Jonas menunduk dan berpikir keras. Kesalahan apa yang sudah dia lakukan?
Kalian sudah mengetahuinya. Nama tokoh utama kita, Jonas. Usianya 12 tahun. Dan saat Desember nanti dia akan mendapatkan Penugasan-nya. Penugasan adalah masa transisi bagi seseorang di komunitas dari anak-anak menjadi orang dewasa. Tapi alih-alih mendapatan Penugasan, Jonas justru menjadi Sang Terpilih.
Pada awalnya menjadi Sang Terpilih terlihat menyenangkan. Apalagi status itu akan membawanya menjadi Penerima Ingatan di masa mendatang. Salah satu jabatan bergengsi Tetua di komunitas. Tapi begitu Jonas tahu apa yang mesti dilakukannya untuk menjabat posisi itu, bahwa dia mesti merasakan rasa sakit sejati sekaligus kenikmatan hidup ...
Dia frustrasi.
Dan marah.
Dan bingung.
Dia tak bisa membagikan apa yang diketahuinya. Rasa senang, kebahagiaan, warna-warna, dia tak bisa mengatakan hal itu semua pada orang-orang. Bahkan termasuk orang-orang terdekatnya. Dia tercengang ketika tahu beberapa fakta mengejutkan dibalik pembentukan kesempurnaan komunitas. Berapa harga yang mesti dibayar untuk menciptakan sebuah komunitas utopis. Komunitas yang harmonis dan teratur, bebas dari hal-hal tidak menyenangkan.
Lagipula seandainya pun dia menceritakannya, tak ada yang benar-benar bisa memahaminya. Sebab orang-orang yang lahir dan besar di komunitas tidak akan mengerti dengan apa yang diocehkan Jonas. Kecuali The Giver, Sang Pemberi, yang darimana Jonas mendapatkan ingatan masa lalu yang penuh warna, penuh cinta, dan penuh keburukan serta rasa sakit.
"Sir?" kata Jonas malu-malu.
"Ya? Kau punya pertanyaan?"
"Hanya saja aku tidak tahu namamu. Kupikir kau Sang Penerima, tapi katamu akulah Sang Penerima. Jadi aku tidak tahu harus memanggilmu apa."
...
"Panggil aku Sang Pemberi," katanya kepada Jonas.
Bila dibandingkan dengan adaptasi filmnya, jelas filmnya kalah jauh dibanding bukunya. Di buku bisa dibilang tak ada tokoh antagonisnya. Atau yang jadi antagonisnya adalah sistemnya yang serba teratur itu sendiri. Tapi di film, antagonisnya disandang oleh Tetua Kepala, dan dikesankan pula dia itu orang jahat yang mau melakukan apa saja demi keutuhan komunitas. Di buku, ayah Jonas adalah warga yang taat sekali pada hukum. Sementara diadaptasi seolah-olah dia memiliki jiwa pemberontak. Sahabat Jonas, Asher, juga mengalami perubahan yang signifikan. Di film dia ditugaskan di divisi yang kalau memakai sikapnya di buku dia tak mungkin mendapatkannya.
Perubahan-perubahan itu bukan tanpa sengaja. Perubahan-perubahan itu nantinya berguna di ending film. Yang mana membawa dua pesan. Satu, bahwa kita tak bisa mewujudkan sesuatu yang besar tanpa campur tangan orang lain. Kedua, bahwa sesuatu yang solid bisa runtuh hanya oleh satu orang.
Lalu bagaimana dengan ending di buku? Uniknya, ending di buku bisa diartikan berbeda-beda, tergantung pembacanya. Bayangan pertama yang melintas di benakku, adalah ending buku sama dengan ending di film. Dan memang bisa diartikan seperti itu. Sementara spekulasi yang melintas kedua, aku merasa apa yang dilakukan Jonas di ending merupakan upaya balas dendam dadakan. Spekulasi yang ketiga dipengaruhi oleh catatan penulis setelah di ending. Kata Lois Lowry, penulis The Giver Quartet ini, ada seorang anak yang menyatakan apa yang dipikirkan benaknya ketika dia sampai di ending: [SPOILER]Jonas mati![/SPOILER]
Dan menurutku itu mungkin saja. Sebab apa yang muncul di ending secara kebetulan sangat mirip dengan bayangan Jonas ... Akan kebahagiaan.
Oh ya, omong-omong tentang covernya, cover bikinan Staven Andersen, menurutku, adalah cover terbaik di antara semua cover The Giver di seluruh dunia. Jauh lebih bagus dari cover originalnya, dan menggambarkan dengan baik bagaimana dunia Jonas.
Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::
0 comments:
Posting Komentar