Me Before You
Sebelum MengenalmuPenulis: Jojo Moyes
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2013
Tebal: 656 halaman
Genre: Sick Literature - Realistic Fiction - Family Fiction - Romance
Target: Adult (17 tahun ke atas!)
Score: Yummy!
Kalimat pertama Me Before You
: Ketika dia muncul dari kamar mandi, gadis itu sudah bangun, duduk bersandar di bantal-bantal sambil melihat-lihat brosur-brosur perjalanan di samping tempat tidurnya.
Sejujurnya, meski tahu dengan keberadaan buku Me Before You ini sejak lama, aku baru mengadopsinya sesaat setelah berita tentang adaptasi filmnya hendak dirilis.
Tentu aku tak mau ketinggalan mengetahui ada apa di dalam buku ini sebelum menonton adaptasi filmnya, hahah.Tapi sayangnya, meski aku sudah selesai membacanya, jauh sebelum tanggal filmnya dirilis, aku belum sempat menonton adaptasinya. Bukan karena tak punya waktu atau apa, tapi karena filmnya belum masuk ke bioskop Indonesia--meski bajakannya sudah ada di dunia maya.
Ada apa ya sampai filmnya belum juga masuk ke negeri tercinta kita ini? Bukankah Me Before You hanyalah sebuah kisah romansa antara Lou Clark dan Will Traynor?
Sebenarnya, Me Before You lebih dari sekedar itu. Benar ada kisah cintanya. Tapi ada satu hal yang mungkin akan menimbulkan kontroversi; perkara hidup dan mati.
Aku angkat bahu. "Aku tidak suka film yang ada subtitle-nya."Me Before You berkisah mengenai kehidupan, seperti yang kita tahu atau yang aku sebutkan, dua orang: Lou Clark dan Will Traynor. Beserta orang-orang di sekitar mereka. Lou adalah gadis yang
"Itu ibaratnya mengatakan kau tidak suka film-film yang ada aktornya. Yang benar saja. Apa sebenarnya yang tidak kausukai? Karena kau terpaksa mesti membaca teks-nya sambil nonton?"
"Aku cuma tidak suka film-film asing."
"Semua film setelah Local Bloody Hero adalah film asing. Kaupikir Hollywood itu daerah pinggiran kota Birmingham?"
Tapi, tentu saja, dunianya berubah.
Bagaimana dengan Will? Pria ini baru mengalami kecelakaan. Oke, tidak sebaru itu. Dia sudah lama mengalami kecelakaan itu dan sekarang dia merasa sudah cukup dengan dunia ini; dengan kata lain, dia tidak lagi berminat dengan kehidupan. Dan dia tahu bagaimana cara mendapatkan keinginannya tersebut.
Lalu bagaimana mereka bertemu?
Mereka bertemu karena ibu Will ingin anaknya mempunyai teman. Iya, seorang teman yang dibayar.
Sejak mengalami kecelakaan yang merenggut nyaris seluruh fungsi tubuhnya, Will menarik diri dari dunia. Bukan hal yang mengejutkan. Dia menjadi pribadi yang pemurung yang tiap hari kerjaannya marah-marah melulu. Berkat sifatnya itu, Lou nyaris tidak menerima pekerjaan yang ditawarkan si ibu. Atau, jika ia tidak membutuhkan pekerjaan tersebut, dan jika saja dia bukan tulang punggung keluarganya, Lou yang dikenal ceria ini lebih suka untuk tidak mengambil tawaran kerja itu. Sebanyak apapun gajinya.
"Apakah kau ingin dibuatkan secangkir teh?" akhirnya aku berkata, setelah keheningan itu jadi tak tertahankan.Secara mengejutkan, aku suka dengan Me Before You. Beberapa teman mengatakan buku ini pace-nya lambat sekali. Dan itu memang benar. Tapi bikin bosan? Tidak. Setidaknya bagiku Me Before You tidak membosankan. Sebab baik Lou maupun Will sama-sama lucu. Interaksi mereka, Lou yang know nothing dan Will yang sarkas, oke buat disimak. Chemistry yang terbentuk antara mereka berdua juga terasa alami, dibangun pelan-pelan, tidak grasak-grusuk, apalagi sampai terpesona dan menghapus seluruh keburukan hanya karena satu tindakan baik. Hal yang biasa terjadi di cerita benci jadi cinta.
"Ah. Ya. Gadis yang mencari nafkah dengan membuatkan teh. Kira-kira berapa lama sebelum kau bermaksud memamerkan kecakapan-kecakapanmu? Tidak. Tidak usah, terima kasih."
"Kopi kalau begitu?"
"Aku tidak ingin minuman panas saat ini, Miss Clark."
"Panggil aku Lou saja."
"Apa bedanya?"
Tokoh-tokoh yang terlibat pun memiliki karakter yang unik dan kuat. Tapi ada satu menurutku yang agak dipaksakan penulis; keunikan Lou. Iya, si narator alias si tokoh utama. Lou digambarkan eksentrik, suka fashion yang begitu, suka ini yang tak biasa, suka itu yang luar biasa. Hal itu bukan tak mungkin memang, tapi menurutku meski hal itu tak dimasukkan tak akan terlalu mempengaruhi plot. Lou digambarkan sebagai seorang yang datar, lugu, dan tak berkembang saja sudah pas tanpa perlu ditambah detail yang neko-neko yang pemakaiannya pun hanya seuprit-seuprit--kecuali part fashionnya yang dipakai beberapa kali.
Sekilas, dari sinopsisnya, dan dari poster adaptasi filmnya, Me Before You terkesan seperti film romansa. Atau another sick-lit lainnya, dengan tokoh mengidap penyakit yang membuat penderitanya tak lagi bisa menggerakkan nyaris seluruh badannya, disiksa rasa sakit yang membakar seluruh tubuhnya. Tapi kalau kita menelisik lebih jauh, Me Before You membawa satu masalah pelik yang pasti jadi perdebatan panjang banyak orang: Apakah hidup itu benar pilihan?
[SPOILER]
Jadi seperti yang aku singgung di awal, Will sudah kehilangan minat untuk hidup. Dan dia tahu ada cara untuk mengganti kata hidup itu menjadi antonimnya. Mati.
Ya, bisa dibilang, atau dalam bahasa awam, Will pengen bunuh diri. Tapi bunuh diri yang legal (?) Yakni dignitas.
Jadi, ada fasilitas di Swiss yang menawarkan hal itu. Dan setelah aku cek lewat internet, lokasi ini beneran ada!
Yang kemungkinan ingin ditanyakan penulis lewat karyanya ini: Apakah apa yang dipilih Will adalah suatu tindakan yang baik atau buruk?
Dari pemahaman yang sederhana jelas dia membunuh dirinya sendiri. Dari pemahaman yang sedikit lebih rumit, dia meninggal dengan keinginannya sendiri, keputusannya sendiri, bukankah hidup itu miliknya, punya hak apa orang lain merasa apa yang dilakukannya hal yang salah?
Dan bila Will memilih untuk mengakhiri rasa sakitnya, mengakhiri rasa iba dan. Kasihan yang ditujukan padanya, tak lagi ingin membuat repot orang di sekitarnya, apakah itu membuat Will jadi seorang sosok lelaki penakut?
Bila hidup adalah pilihan, apakah mengakhirinya bukan termasuk pilihan? Dan bila dihubungkan dengan hal relijius, bukan tidak mungkin kan seseorang ditakdirkan berpulang ke Sang Pencipta dengan cara membunuh diri mereka sendiri?
Lalu ... Bagaimana dengan kalian, kalian pro yang mana? Pro-life atau pro-choice?
[SPOILER end]
Satu lagi selain isi, dan pengetahuan baru mengenai penyakit Will dan sebuah lokasi di Eropa, tampilan fisik Me Before You edisi terjemahan GPU ini menurutku agak terlalu besar. Ini bukan komplain atau sejenisnya, hanya penasaran Me Before You bisa tebal. Enam ratusan halaman, tapi saat aku membandingkan novel ini dengan novel lain berjumlah halaman yang kurang lebih sama, dengan dimensi yang sama pula, dari penerbit yang sama juga, kenapa masih tebal Me Before You? Apakah Me Before You menggunakan kertas yang tebal?
UPDATE:
Aku sudah melihat filmnya!
Filmnya bagus. Dan yang aku suka adalah Trina, adik Lou, dan Patrick, pacar Lou, digambarkan lebih baik dari buku. Di buku keduanya sama-sama minta dijtak, sementara di adaptasii filmnya mereka karakter yang lovable!
Patrick digambarkan sebagai pacar yang cukup lumayan, tidak hanya olahraga mulu di kepalanya. Dan Trina, dia digambarkan sebagai adik yang supportif! :')
Dan karena udah menyinggung filmnya, yuk kita tonton trailernya:
Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::
P. S. Review ini merupakan review pertama setelah aku hiatus hampir sebulan. Selamat datang kembali untuk diriku :D/
0 comments:
Posting Komentar