Jantera Bianglala by Ahmad Tohari

Jantera Bianglala

Penulis: Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 1986
Tebal: 231 halaman
Seri: Ronggeng Dukuh Paruk #3
Genre: Romance - Sastra Indonesia - Fiksi sejarah - Realistic fiction
Stew score: Sweet!
Target: Young-adult (16 tahun ke atas!)

Sececap Jantera Bianglala

Keterlibatan Dukuh Paruk di ranah politik berbuah pahit. Para "punggawa"-nya ditangkapi dan diinapkan di hotel prodeo. Namun, bila yang lain telah dibebaskan bersyarat, lain halnya dengan Srintil, sang ronggeng. Dia mendapat perlakuan "istimewa" yang membuat masa penahanannya jadi lebih lama.

Entah apa yang diperbuat para petugas negara yang mestinya mengayomi itu. Tak ada satu warga Dukuh Paruk pun yang tahu. Bahkan ketika akhirnya Srintil akhirnya dibebaskan bersyarat seperti yang menimpa para sesepuhnya terlebih dahulu, dia enggan mengisahkan pengalamannya dan memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat.


Bila sebelumnya Srintil hanya mau meronggeng dengan syarat, maka kali ini dia sama sekali tidak mau melakukan itu lagi. Dia ingin benar-benar menjadi seorang perempuan sejati. Yang hanya mengabdikan hati dan raganya pada satu lelaki saja.

Dan jujur, hatinya masih mendambakan Rasus. Mendambakan lelaki itu menjadi suaminya.

Tapi Rasus tak pernah berada di sisinya. Lelaki idamannya itu ada di negeri antah-berantah, tak diketahui rimbanya.

Kemudian muncul lelaki baik di kehidupan Srintil. Pria ini memiliki tampang yang lumayan, punya pekerjaan yang mapan, tak peduli pada gunjingan orang, dan tak pernah memandang Srintil sebagai wanita penghibur tapi wanita pada umumnya. Lama-kelamaan, mereka pun makin lekat. Tapi entah kenapa si lelaki ini tak segera mempersuntingnya.

Entah apa yang ditunggunya. Hanya Tuhan dan lelaki itu saja yang tahu.

Citarasa Jantera Bianglala

Buku ketiga dan terakhir trilogi Ronggeng Dukuh Paruk.

Jantera Bianglala, bagiku, mempunyai awal yang bagus, aroma pedesaannya masih cukup kental, gaya penceritaan dan pilihan kata penulisnya oke punya, tapi jalan ceritanya... biasa saja. Dan endingnya... agak-agak mengingatkanku pada ending beberapa FTV religi.

Awalannya bagus karena menyorot orang-orang, tepatnya penduduk Dukuh Paruk, yang berusaha bertahan hidup di Dukuh-nya yang telah dibumihanguskan, yang dicemooh oleh penduduk sekitar pedukuhan, yang mesti berjuang sendiri sebab tak ada orang yang mau mengulurkan bantuan pada mereka, dan pada akhirnya... Mereka bisa bertahan. Sederhana tapi bertahan.

Betapa kuatnya mereka!

Selebihnya... Tak ada yang cukup menarik. Kegalauan Srintil di Jantera Bianglala tak sebanyak ketika Lintang Kemukus Dini Hari. Hal yang mungkin disyukuri beberapa pembaca. Rasus makin sedikit perannya, dan setelah sempat dikisahkan dalam sudut pandang orang ketiga di buku kedua dari trilogi, dia mendapatkan "kelebihan"-nya lagi di buku ini layaknya di buku pertama: mendapat porsi sebagai narator dengan sudut pandang orang pertama.

Secara keseluruhan, Jantera Bianglala karya yang cukup oke. Tapi seandainya dia tak dilumuri oleh bahasa sastra mungkin aku... Tetap membacanya karena aku sudah terlanjur membaca dua buku pendahulunya dan sangat penasaran bagaimana kisah ini akan berakhir. Apakah Srintil dan Rasus akan bersatu... akhirnya? Akankah kesenian Ronggeng akan bangkit kembali, mengingat ending Lintang Kemukus Dini Hari, dan terus lestari? Ataukah hal lain yang tak aku duga? Dan ternyata endingnya... Bukan ending terbaik dalam karya sastra kalau aku bilang.

Tapi, Jantera Bianglala, masih merupakan bacaan yang menghibur. Terutama bila kalian mencari sebuah bacaan dengan kalimat dan kata-kata yang "kaya."

Aku juga tak heran bila kemudian trilogi ini dijadikan satu buku karena... Halaman perbukunya tidaklah terlalu banyak. Paling tebal buku pertama dan kemudian makin tipis di buku terakhir.


Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::
|

0 comments:

Posting Komentar

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!