Sambil Menunggu adik keluar dari gedung sekolahnya, dan karena jaringan internet di daerah sekitar sekolahnya kurang bagus, akhirnya aku yang biasanya sibuk bin busy ini memanfaatkan waktu luang yang sempit ini untuk menjawab tantangan Ryana @ Ryana's Locker!
Tantangannya bukan main-main. Saking sulitnya tantangannya, aku sempet pusing beberapa menit setelah tahu hal itu dan langsung jatuh tertidur (?) Tantangannya adalah... Hanya menjawab satu soal saja sebenarnya, yakni, "Sebutkan 10 buku yang berkesan di hatimu?" (catatan: kesannya tak melulu kesan yang positif)
Aku sempat berpikir, bagaimana kalau daftarnya adalah daftar buku-buku yang berkesan negatif? Kebetulan aku sedang direndengi emosi negatif, juga kebetulan ada banyak sekali buku overrated yang selama dua tahun terakhir memberiku kesan, yang tentunya, kurang oke. Dari yang, "Buku terkenal pun tak memberi jaminan kepuasan (?)" hingga, "Buku ini cuman menjual 'sinetron'." Sinetron means memberi apa yang sedang disukai penikmatnya saat ini. Untuk mainstream belakangan ini: banyak aksi [adegan pertarungan, adegan kejar-kejaran], cewek kuat, cowok keren secara fisik yang bersembunyi dalam sikap dingin tapi berhati selembut kapas (?), cinta segitiga, dst.)
Tapi bila aku menuruti emosi negatif yang minta dilampiaskan tersebut, bisa-bisa nanti nasib membawaku kayak FS. Memang, para pembaca buku kebanyakan jauh lebih open-minded, tapi semenjak banyak kasus yang mencuat gara-gara mencurahkan isi hati atau pendapat, lebih baik bersikap bijaksana dengan menahan diri. Indonesia mungkin menjamin kebebasan tiap warganya dalam mengeluarkan pendapat lewat UUD '45 pasal 28. Tapi seandainya pendapat itu menyakiti hati oknum lain, maka ya hukuman bakal menghampiri orang yang mengeluarkan pendapat.
Karena alasan tersebut, dan karena energi positif itu lebih sulit tersebar dibanding antagonisnya, maka aku memilih untuk menjawab tantangan sobatku tersebut dengan jawaban bermuatan positif.
Panjang ya awalannya?
Oke, tanpa berbasa-basi lagi, inilah daftarnya:
10. The Mediator: Shadowland by Meg Cabot
Buku pertama dari serial The Mediator. Buku ini menceritakan seorang gadis yang punya kemampuan berbicara dengan orang mati. Sayangnya Suze, nama gadis tersebut, tak suka dengan kemampuannya itu. Bukan karena dia takut tapi karena terganggu. Bahkan dia tak segan-segan menendang bokong si hantu bila si hantu sudah bersikap menyebalkan. Selain karena kisahnya yang mengundang tawa, buku ini juga buku yang membuka mataku, bahwa buku berbahasa Inggris tidaklah sulit dibaca seperti yang dulu sempat kupikirkan.
Yap, buku ini merupakan novel bahasa Inggris pertama yang aku baca dari awal sampai akhir.
9. Delirium by Lauren Oliver
Sejauh ini, dari seluruh novel YA-dystopia yang beredar akhir-akhir ini dan sudah kubaca, Delirium-lah yang memiliki sistem masyarakat paling mumpuni dan nyaris sempurna bak dedengkotnya novel dystopia: 1984-nya George Orwell, yang kedua dipegang oleh seri Across the Universe karya Beth Revis. Delirium juga merupakan salah satu buku yang punya ide sederhana tapi luar biasa dan sudah bikin aku jatuh cinta sejak membaca sinopsisnya.
Sayang, walau buku ini keren, dua buku sekuelnya yakni Pandemonium dan Requiem, walau dari segi cara bercerita penulis cukup bagus, berubah jadi novel mainstream yang hanya menjual aksi dan drama saja, bahkan unsur dystopianya pun berubah terasa bak tempelan atau katalis untuk memunculkan tindakan ekstrim. Tidak jelek sih, hanya saja aku tidak menemukan faktor "wow" di dalamnya.
8. Cloud Atlas by David Mitchell
Kisah soal reinkarnasi mungkin sudah biasa bagi sebagian kita, tapi Cloud Atlas punya ciri khas yang unik dalam menyajikan kisahnya: gaya penulisannya disesuaikan dengan zaman si tokoh. Ketika si tokoh hidup di abad 19, gaya penceritaannya ala-ala menulis jurnal, persis seperti Dracula-nya Bram Stoker. Ketika si tokoh hidup di awal abad 20-an, di mana surat masih memegang peranan penting dalam komunikasi, si tokoh menceritakan kisahnya dalam bentuk surat, persis seperti Frankenstein-nya Mary Shelley. Ada pula yang diceritakan seperti novel pada umumnya, dibikin perbab, ada pula yang mirip memoar pengakuan layaknya Lolita-nya Vladimir Nabokov. Ketika si tokoh hidup di zaman yang jauh dari masa kini, penulis dengan piawainya mengubah istilah lama menjadi baru, dan seterusnya. Total ada 6 gaya penulisan. Aku paling suka dengan gaya penulisan ala wawancara yang digunakan pada zaman jauh di masa depan, di mana manusia buatan telah jadi bagian dari kehidupan umat manusia.
Penulisan ala wawancara ini pernah aku gunakan ketika membuat cerpen berjudul Monsterimut.
7. Chaos Walking Installments by Patrick Ness
Anggap saja satu buku, hahah. Untuk ukuran buku yang menjanjikan hal-hal brutal, novel dystopia ini menurutku masih cukup aman dikonsumsi anak-anak. Ada cukup banyak cinta di sini, tapi Master Ness dengan sangat piawai tidak mengumbarnya secara eksplisit tapi melalui ekspresi para tokohnya.
Tidak hanya soal cinta, Master Ness juga sangat pintar menyisipkan kritiknya pada isu sosial, agama, gender, perang, dan alam pada novel-novelnya yang pasti disukai oleh kebanyakan pembaca masa kini. Novel berkonsep sederhana, di mana setiap orang bisa mendengar pikiran orang lain (bahkan dalam bentuk gambaran sekalipun) juga ditulis dengan penyesuaian tokoh utamanya yang tak tidak bisa baca tulis. Seperti semisal kata "attention" ditulis "attenshun."
Ketiga novel seri ini aku dapatkan dari memenangi tiga giveaway berbeda, satu GA internasional dan dua GA lokal yang memperbolehkan pemenangnya memilih buku berbahasa Inggris.
6. The Book Thief by Markus Zusak
Buku ini sukses mempecundangiku. Kenapa? Aku sampai, err, mengeluarkan berjuta-juta butiran air mata dan, err, berkali-kali dan panjaang sekali ketika membaca buku ini untuk pertama kalinya. Padahal naratornya sendiri "menspoiler" nasib para tokohnya dengan sangat gamblang bahwa si tokoh akan mengalami hal yang merupakan hal yang pasti. Buku ini menggunakan setting Jerman di kala dipimpin oleh Führ alias Adolf Hitler, di mana sedang terjadi holocaust dan perang dunia pertama.
5. Every Day by David Levithan
Sama seperti Delirium, Every Day merupakan salah satu buku yang idenya sederhana tapi wow dan mempunyai sinopsis yang spektakuler. Dan sama seperti Delirium, aku sudah menyukai Every Day bahkan sebelum aku membacanya (belum dibaca sudah terasa).
Every Day membawa pesan universal bahwa cinta itu tak mengenal batas apapun, termasuk kritik sosial dan hal lainnya secara non-eksplisit.
Sama seperti kebanyakan orang, aku mengenal dystopia dari trilogi ini. Tapi bukan itu saja, buku ini membuka mataku, menyadarkanku, akan pentingnya melek politik. Tidak mesti terjun ke dalamnya dengan menjadi petugas atau anggota partai, walau dengan menjadi rakyat atau penduduk kita telah jadi bagiannya, tapi cukup sekedar tahu. Dengan menjadi tahu, kita tak akan mudah dibodohi.
3. Eragon by Christopher Paolini
Melalui Eragon, aku belajar, bahwa sebanyak apapun orang yang sayang dengan kita, mereka juga sering menolong kita, suatu waktu mereka akan pergi, suatu waktu mereka bisa membalikkan punggung mereka pada kita, sebaik apapun mereka. Ketika masalah menghantam kita, kita hanya dan hanya bisa mengandalkan diri kita sendiri
2. Princess in Waiting by Meg Cabot
Princess in Waiting, buku entah keberapa (aku lupa) dari serial Princess Diaries, mungkin merupakan buku yang ringan. Sangat ringan malah secara ini novel humor. Tapi buku ini menamparku dengan cukup keras ketika pertama kali aku membacanya lewat pesan yang disiratkan penulisnya: "Terkadang, untuk menyampaikan sesuatu tidak selalu dan melulu dengan bahasa lisan, bisa dengan bahasa tulisan."
Dan setelah dipikir-pikir, hal itu ada benarnya. Sejarah yang lebih bertahan lama adalah sejarah yang dituliskan.
1. Harry Potter series by J.K. Rowling
Sama seperti Chaos Walking dan The Hunger Games, anggap saja ini seolah satu buku saja. Dan masa masih perlu aku jelaskan lagi alasannya?
Oke, oke, biar adil aku jelaskan. Selain karena Harry Potter and The Goblet of Fire merupakan novel pertama yang kubaca dan bikin aku nyemplung ke dunia perbukuan, juga selain karena aku bisa membaca Harry Potter and The Half-Blood Prince yang tebalnya 800 halaman lebih dalam waktu sekitar 14 jam, Harry Potter mengajarkanku banyak hal. Arti kehidupan, persahabatan, keluarga,, kebenaran, kebenaran yang diingkari atau bisa juga disebut kesalahan, menyadarkanku bahwa dunia itu... tidaklah hitam-putih melainkan abu-abu, di mana baik dan buruk tinggal berdampingan, saling menjatuhkan tapi juga saling mengasihi satu sama lain.
Harry Potter, mengajakku berimajinasi setinggi-tingginya tapi juga tak lupa menunjukkan sisi jujur dari realita.
Dan itulah 10 buku yang memberiku kesan positif. Dan hampir kesemuanya memiliki satu hal yang sama: membicarakan manusia.
Bagaimana dengan kalian? Coba sebutkan 10 buku yang menimbulkan kesan pada diri kalian. Tidak harus sepertiku, urut dan disertai penjelasan sepanjang tembok besar China. Kalian boleh sekali membuat daftar 10 buku yang menghadirkan kesan negatif (alias bikin marah-marah, muring-muring, benci, jengkel, nyaris depresi) atau kesan lainnya. Boleh ditulis di notes fb, boleh juga di blog, boleh juga di secarik kertas dan dipotret lalu diupload, atau juga boleh di pinggir pantai agar ombak segera menghapusnya... Terserah media apa yang kalian pakai aka bebas :D
Tidak dikerjakan juga tidak apa-apa x))) Tapi berbagi sedikit ke dunia tidak ada salahnya, bukan? ;)
0 comments:
Posting Komentar