Icip-icip Cookie
Beauty (Cantik) Cookson memiliki wajah
yang biasa-biasa saja. Karena itulah teman-temannya di sekolah (terutama
para musuhnya) memanggilnya Ugly (Jelek). Ketidakmampuannya dalam
beberapa hal, semisal menyanyi dan menari, membuatnya menjadi sosok yang
pemalu.
Beauty suka sekali menonton acara Rabbit
Hutch (acara untuk balita). Tapi hanya ibunya, Dilys (atau biasa
dipanggil Dilly oleh suaminya), yang tahu mengenai hal itu. Bila
teman-temannya tahu, dia akan mendapatkan julukan baru lagi dari
teman-temannya di sekolah–yang jumlahnya sudah nyaris sebanyak jumlah
jari tangan. Bila ayahnya tahu, hal buruk, lebih buruk dari gencetan
teman-temannya, akan terjadi.
Ayah Beauty mempunyai emosi yang tidak
stabil. Hal kecil, misalnya saja debu, bisa menyulut amarahnya.
Kata-katanya sangat tajam, sorot matanya menyeramkan, dan gerak-geriknya
sangat mengintimidasi. Dia tidak terima dengan penolakan. Dia tidak
tahu apa yang diinginkan Beauty, dia tidak tahu anak-anak yang dikiranya
teman Beauty adalah musuh utama Beauty, dan dia sangat pemaksa! Sesuatu
yang dihadiahkannya pada Beauty harus diterima dengan gembira–meski
Beauty merasakan hal lain! Lebih hebatnya lagi dia merasa dia adalah
suami dan ayah yang baik!
Untung ada Dilys, ibunya. Meski tidak
jago melakukan banyak hal, dia tak pernah kehabisan rasa sayang untuk
Beauty. Dia bahkan ikut marah saat tahu teman-teman Beauty memanggil
anaknya dengan sebutan yang tak nikmat didengar. Dia kemudian mendapat
ide agar anaknya mendapat julukan baru yang manis: membuat cookie (dan
mengedarkannya pada teman-teman sekolahnya).
Namun, makin lama, ayah Beauty makin tak terkendali. Tangannya bahkan tak segan berbicara lebih keras.
Bisakah Beauty dan ibunya meyakinkan teman-teman Beauty untuk mulai memanggil Beauty dengan Cookie?
Sanggupkah mereka bertahan dengan sikap ayahnya yang meledak-ledak
seperti itu? Ataukah mereka berani keluar dari rumah, tanpa keahlian
apapun, dan memulai hidup baru yang jauh lebih baik?
Citarasa Cookie
Manis! Itulah jawaban yang akan aku berikan ketika ditanya bagaimana rasanya
Sama seperti 13 Reasons Why, buku Cookie ini aku peroleh dari kemenangan cerpenku yang berjudul Bocah Penjual Cookies. Terimakasih kak Mery Riansyah (dia editornya, lho) karena telah mengadakan kontes tersebut, heheh.
Buku ini sangat ringan (dan manis). Dari
segi ide, bahasa yang digunakan (sangat mudah dimengerti dan tak
bertele-tele), dan alurnya (lurus dan mulus tanpa jalur memutar).
Dilengkapi juga ilustrasi lembut buatan Nick Sharratt tiap awal bab yang
berisi ringkasan dari bab yang diwakilinya.
Tidak banyak yang bisa aku komentari.
Semuanya terasa pas. Semuanya terasa manis–bahkan endingnya (tuhkan
spoiler, hahah). Aku juga tidak menemukan typo sama sekali (bisa jadi
sangat bersih, tapi bisa juga karena aku sangat terhanyut dengan kisah
yang diterjemahkan oleh Muntya Ayudya sehingga aku kurang teliti). Toh
walaupun ada typo, tak akan mengurangi kenikmati mengunyah Cookie.
Apalagi Cookienya rasa dan bentuknya unik. Mungkin yang bisa jadi
masalah adalah pada pengenalan tokoh baru bernama Mike. Mike belum
memperkenalkan diri tapi Beauty sudah tahu namanya. Hal yang ajaib
bukan? heheh. Tapi Beauty sendiri anak yang ajaib. Dia memiliki
imajinasi yang sangat aktif.
Covernya juga manis. Menyerupai bentuk
kue dengan foto Beauty sebagai centralnya dan dibingkai oleh cookie
beraneka warna dan bentuk. Ada tulisan cookie yang berbentuk artistik
dan berwarna putih, seolah tulisan itu dibuat dari cream. Sedang tangan
yang muncul dan menghantam sebuah cookie… Jelas kalian bisa menebaknya
itu tangan siapa.
Kalo boleh jujur (dan curhat sedikit),
membaca buku ini seperti membaca kisahku sendiri. Bedanya Beauty tidak
mempunyai adik dan aku belum punya keberanian seperti Dilly untuk
mengajak keluargaku keluar dari “Happy Home”. Empat mangkuk semur aku
persembahkan pada Dilly karena telah menjadi ibu yang menakjubkan bagi
Beauty.
Judul: Cookie
Penulis: Jacqueline Wilson
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: (Pertama) Januari 2012
Tebal: 376 halaman
Stew Score: 4 of 5 Bowls
sejak baca 'the worry website'-nya jacqueline, jadi mulai jatuh cinta ama penulis yang satu ini :D mudah2an suatu hari 'berjodoh' dengan 'cookies' karena dari review di atas, sepertinya ceritanya menarik ^o^
BalasHapusAmin.
BalasHapusMemang Cookie menarik sekali. Wajib batja pokoknya :D
Bulan Desember nanti saya bakal membaca buku Jaqueline yang lain :D