Selamat Hari Buku Nasional

Rentjananya, tadi pagi aku ingin pergi ke Kediri Lautan Buku. Oh ya, di Kediri bertepatan dengan Hari Buku Nasional yang jatuh hari ini--yang beberapa menit lagi akan berakhir, ada atjara yang, kalau tidak salah, digagas oleh Taman Baca Mahanani. Tapi... kita boleh berentjana, tapi tetap semesta yang menentukan apakah rentjana tersebut akan menjadi nyata atau tidak nyata.



Lalu, Divisi Event Blogger Buku Indonesia mengadakan posting bareng spesial Hari Buku Nasional. Posting yang sedang teman-teman batja ini. Dalam acara postbar ini, Div Event menantang para anggota BBI (ganteng-ganteng gini aku juga anggotanya lho #eh #ditimpukvoucherbuku ) untuk mengunggah foto-foto koleksi buku lokalnya. Sebagai yang suka mengabadikan foto syur buku-buku pribadi (dan kadang pinjaman, hahah) ketimbang diri sendiri, tentu saja aku merasa terpanggil. Dalam hati, ketika membatja woro-woro tersebut aku sudah menset, begitu sampai rumah aku harus mengarahkan buku-bukunya yang punya lekuk aduhai itu untuk menunjukkan "kegitar-spanyol-an" mereka.

Sayangnya, ketika aku sampai rumah (aku memang tidak jadi ke Kediri Lautan Buku, tapi aku pergi ke tempat lain yang jujur... tidak kunikmati sama sekali. Untung, untung sekali, aku membawa buku untuk menemaniku), aku capek berat. Dan begitu kepalaku menyentuh bantal, mata ini terpejam dan baru terbuka ketika matahari hendak pulang ke peraduannya.

Jadinya, aku tidak sempat untuk memamerkan buku-bukuku. Tapi tenang saja. Karena posting bisa diedit jadi... kalau besok tidak lupa, aku akan mengunggah foto-foto mereka yang paling seksi, yang bikin kalian mupeng berat, yang bikin kalian tidak bisa menjaga air liur kalian untuk tidak menetes keluar. Jadi, silakan untuk datang lagi besok, hahah.

Oke, cukup untuk... curcol-nya :))

Bitjara soal perbukuan Indonesia... buku karya lokal menurutku tidak kalah dengan buku luar negeri. Seperti Redfang yang kubatja beberapa minggu yang lalu. Atau Love, Hate, and Hocus-Pocus yang kubabat dalam satu hari di hari terakhir bulan April. Ceritanya tidak kalah oke dengan buku-buku terjemahan. Tapi kenapa bisa kurang populer?

Kalau menurutku, mungkin karena buku terjemahan sudah punya nama di negaranya, atau banyak negara. Mungkin, karena buku terjemahan sudah terbukti kualitasnya. Dapat puja dan puji dari mana-mana, bahkan telah atau akan dibuat versi layar lebarnya. Atau mungkin, karena banyak dari kita merasa buku luar negeri itu kualitasnya lebih oke dari negeri sendiri.

Jujur, aku sendiri lebih suka novel terjemahan. Bukan karena aku tidak nasionalis. Tapi karena novel dengan genre favoritku, yakni fantasi dan fiksi ilmiah, kebanyakan masih didominasi novel luar. Ada novel fantasi lokal yang oke secara cerita, tapi harganya kadang lebih mahal dari yang terjemahan. Ada yang terjangkau, tapi dari segi cerita bikin trauma (nama yang susah dieja, hal-hal ajaib yang penjelasannya kacau, dan seterus).

Kalau mau mencari kambing hitam, aku bisa saja bilang "mungkin karena hanya sedikit penerbit yang mau menerbitkan novel fantasi lokal." Tapi tidak. Dua novel yang tadi aku sebutkan di atas diterbitkan oleh salah satu penerbit terbesar Indonesia. Dan aku rasa keduanya sukses. Atau setidaknya salah satunya sukses berat. Sebab salah satu dari novel yang kusebutkan itu memiliki sekuel (memang bukan jaminan terbitnya sekuel ini menandai kesuksesan, tapi siapa tahu, kan?) Jadi bukan salah penerbit. Malah, mungkin bukan salah siapa-siapa. Mungkin memang belum waktunya novel fantasi berjaya di Indonesia. Atau... mungkin menunggu diriku untuk menyelesaikan naskah fantasiku. Siapa tahu, kan?

Kembali ke Kediri Lautan Buku. Tapi kali ini tanpa curcol (hayo, siapa yang menghembuskan napas lega? xP )

Atjara ini cukup sukses mengejutkanku. Gimana tidak? Setelah lama terkungkung di sekeliling orang yang meremehkan buku, buku itu tidak berguna, buku itu hanya buang-buang waktu dan uang saja, buku hanya akan berakhir jadi bungkus kacang goreng, aku merasa memiliki harapan lagi. Awalnya Kediri Lautan Buku. Kemudian merambah ke Nganjuk yang melankolis. Kemudian menjadi atjara nasional. Kemudian ada banyak penghargaan untuk buku-buku terbaik. Kemudian buku masuk dalam kurikulum sekolah. Dan, kemudian ada buku-buku lokal yang disebut di buku-buku lokal lainnya.

Untuk saat ini mungkin terdengar tinggi. Tapi aku yakin, suatu saat nanti, hal-hal itu akan terwujud. Bagaimana denganmu?

4 comments:

  1. Ah, aku aja yang di Jakarta sering dapat komentar kalau buku tuh cuma sekadar "hiburan", bukan suatu hal yang bisa dijadikan hobby atau bagaimana gitu.
    Kayaknya kurang keren aja kalau jadi pecinta buku, hahaha XD
    Anyway, memang minat terhadap novel fantasi indonesia masih rendah. Sepertinya daya imajinasinya masih terbatas *eh

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, benar, sangat menggelisahkan (?) karena buku hanya hiburan saja, lalu kenapa tv dianggap serius yak? .__.

      hahah, nggak juga sih, Kak Zell, banyak banget yang imajinasinya oke, tapi entah kenapa nggak juga turun-turun gunung untuk memperkenalkan karyanya ._.

      Hapus
  2. Itu mungkin karena fantasi semacam karya-karya Neil Gaiman gitu gak berakar secara budaya di sini, kan? Sama kayak seenak-enaknya keju di Indonesia masih kalah jauh dari keju Belanda. Tapi kalo cerita yang menghadirkan hal-hal metafisik, cukup berakar. Makanya genre horor lebih berkembang daripada fantasi di sini. Kita juga punya Ayu Utami yang surealis karya-karyanya. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hnn, iya juga. Di Indonesia hal supernatural jauh lebih berkembang ketimbang fantasi-fantasi indah yang penuh warna (?)

      Wah, jadi pengen berburu karya-karya Ayu Utami yang lain :3

      Hapus

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!