Kalimat pertama Totto-Chan
Mereka turun dari kereta Oimachi di Stasiun Jiyugaoka.
Sececap Totto-Chan
Totto-Chan dikeluarkan dari sekolah. Tapi dia tidak tahu itu. Ibunya yang bijaksana tidak memberitahunya—atau lebih tepatnya memberitahunya ketika Totto-Chan sudah dewasa.
Tapi mungkin dikeluarkannya dirinya dari sekolahnya yang terdahulu bukanlah hal yang disesalinya. Sekolah barunya, sekolah Tomoe, yang jumlah keseluruhan muridnya sekitar 50 anak, tidak hanya mau menerima semua keunikannya, termasuk yang menjadi pemicu dirinya di sekolah sebelumnya, tetapi juga sekolah yang akan mengubah hidupnya. Selamanya.
Citarasa Totto-Chan
Aku sama sekali tidak menyangka buku ini adalah buku otobiografi. Seriusan. Hal ini dikarenakan tiga hal:
Pertama, aku jarang sekali membatja blurb, atau genre, atau apapun data-data terkait buku yang hendak kubatja. Apalagi kalau itu buku dari penulis favorit, dijamin aku bakal mengadopsinya tanpa berpikir untuk mencari tahu buku yang mereka tulis tentang apa.
(Bila benar begitu ... Lantas, bagaimana Totto-Chan bisa tertangkap radarku? Bukankah terkadang orang kepintjut ingin membatja sebuah buku kalau bukan karena covernya [bagiku covernya biasa saja] karena blurb-nya? Aku membatja Totto-Chan ini murni karena penasaran kenapa buku ini disukai oleh banyak orang dan bahkan buku-bukunya, ketika aku tak sengaja menemukannya bahkan sebelum aku sempat memajangnya di Story Eater Corner, menjadi rebutan banyak orang.)
Kedua, cerita biografi sang penulis ditulis dengan gaya bercerita ala novel. Tidak seperti buku-buku biografi pada umumnya, atau lebih tepatnya tidak seperti buku-buku biografi yang sempat kubatja sedikit. Jadi pikiran mengenai buku ini buku non-fiksi, salah satu genre yang biasa kuhindari, tidak pernah terllintas di benakku.
Ketiga ... Sebenarnya tidak ada alasan ketiga sik. Hanya saja kalau cuman dua itu rasanya ada yang kurang saja :)))
Jadi begitu aku mencapai epilog, dan membatja bahwa semua kisah di bab-bab sebelumnya adalah ingatan sang penulis (yang baru kusadari dengan penuh perhatian; beberapa kali penulis menuliskan nama asli Totto-Chan, tapi aku enggak ngeh kalau itu namanya sendiri—ya ampun, betapa ignorance-nya diriku xD ), tentu saja aku terlonjak kaget. Jadi teh ini cerita beneran? Jadi sekolah Tomoe, yang sempat kubanding-bandingkan dengan Hogwarts sebagai sekolah yang membuatku ingin mendaftar sebagai murid, benar-benar ada?
Oh ya, salah satu daya tarik novel ini adalah sekolah Tomoe. Sekolah itu benar-benar sekolah impian. Memang mata pelajarannya sama saja dengan pelajaran sekolah dasar pada umumnya. Yang membedakannya adalah cara para guru mengajar, yang tampaknya merupakan arahan dari sang kepala sekolah.
Sekolah Tomoe itu sekolah ideal. Aku ingin sekali menceritakan pada kalian seperti apa sekolah tersebut, tapi takutnya malah sop iler. Eh, tapi ... Rasanya ada yang kurang kalau aku pendam sendiri. Jadi ya, kenapa enggak? :))
Tomoe menurutku sekolah yang ideal karena beberapa hal. Pertama, lumrahnya sebuah sekolah adalah adanya jadwal pelajaran, tapi di Tomoe anak-anak boleh memilih mana pelajaran yang ingin mereka pelajari terlebih dahulu--sesuai jadwal tapi urutannya boleh diatjak, baru kemudian melakukan pelajaran berikutnya. Tapi meski begitu, bila seorang anak ingin mengerjakan satu pelajaran saja, tapi dengan sangat tekun, hal itu tidak dilarang. Kedua, jalan-jalan termasuk pelajaran di luar ruangan. Aku sebenarnya tidak kaget dengan ini karena pelajaran di luar ruangan bukan hal baru. Tapi di Tomoe, jalan-jalan ini benar-benar seperti bersantai, dan pelajarannya diberikan seolah sambil lalu alias para murid tidak benar-benar menyadari bahwa apa yang mereka ketahui saat jalan-jalan tersebut termasuk pelajaran!
Ketiga, atjara makan siang pun digunakan sebagai sarana untuk belajar. Tentu tanpa membuat suasana menjadi tegang dan serius, tapi tetap ceria dan anak-anak tetap sambil bisa makan dengan tenang.
Masih banyak lagi sebenarnya hal-hal menyenangkan yang bisa ditemukan di Tomoe. Tapi kalian mesti mentjaritahunya sendiri. Enggak seru dong aku beberin semua? ;)
Meski begitu, aku yakin sebagian dari kalian merasa sekolah Tomoe menjalankan sistem yang masuk akal. Tidak terstruktur. Tidak rapi. Atjak-atjakan. Kalian tidak sendirian. Beberapa orangtua murid juga merasa begitu. Malahan, karena tidak setuju dengan kurikulum yang diterapkan oleh sang kepala sekolah, ada orangtua murid yang memindahkan sang anak ke sekolah lain.
Jujur, sebelum aku mengetahui bahwa Totto-Chan ini non-fiksi, aku sempat menganggap sekolah Tomoe itu sekolah khayalan. Dan berandai-andai seandainya sekolah itu benar-benar ada di dunia nyata. Tapi begitu tau sekolah itu ada ... Wow! Just wow! Betapa beruntungnya Totto-Chan dan teman-temannya yang sempat mencecap pendidikan di Tomoe!
Setjara keseluruhan, aku suka Totto-Chan. Terutama aku suka pada sekolah Tomoe dan sikap sang kepala sekolah yang 'memanusiakan' para muridnya. Ia tidak menganggap bahwa murid adalah kertas kosong, yang perlu diisi oleh orang dewasa, yang mengaku telah makan banyak garam. Seandainya banyak orang seperti dirinya.
Oh ya hampir lupa, Totto-Chan berlatar belakang perang dunia kedua, di mana Jepang sedang berperang dengan Amerika. Tapi walau begitu tidak lantas membuat buku autobiografi yang terasa bak novel ini kehilangan keceriaannya dan kepolosannya. Kendati perang menjadi setting, atau tepatnya pengalaman sang penulis, tak membuat suasana dalam buku ini menjadi sangat suram. Malahan, buku ini menurutku ceria dan sangat aman sekali dibatja anak-anak. Sebab selain menghibur dan mendidik, buku ini bersih dari segala hal yang, kalau isi dari buku diangkat ke layar lebar atau layar katja Indonesia, membuatnya kena sensor.
Totto-Chan
Penulis: Tetsuko Kuroyanagi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2003
Tebal: 272 halaman
Genre: Non-Fiction - Memoir - Auto biografi
Score: Almost - Yummy!
Target: Children (8 tahun ke atas!)
Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::
Aku berkali kali ngelirik buku ini di rak pajang toko buku. Tapi karena faktor uang jajan waktu itu jadi belum pernah kesampaian. Kayaknya perlu aku cari nih bukunya.
BalasHapusBetul. Wajib batja ini :D
HapusWajib batja juga buku keduanya, bang Jun! Saat Totto-chan udah dewasa dan jadi Duta Kemanusiaan dari UNICEF. Sampai sekarang udah berapa kali ambu baca ulang dan masih terus nangis batjanya!
BalasHapusYang Anak-Anak Totto-Chan itu? Wah, ntar kalau nemu lagi tak tjoba batja dah :3
Hapus