Confession of a bookaholic

Jika kamu menemukan surat ini, tentunya kamu sedang membacanya sekarang, itu artinya aku sudah mati. Atau aku masih hidup, tapi telah berada di alam lain, bukan sebagai manusia lagi. Tapi sebagai sesuatu yang lain. Sesuatu yang mungkin kamu takuti.

Sebelumnya, aku ingin memperkenalkan diriku. Namaku Erri. Aku seorang kutu buku. Atau aku rasa julukan itu terlalu sederhana bagiku yang sangat mencintai buku lebih dari apapun. Kecuali ibuku, tentu saja.

Buku sudah seperti napas kedua bagiku. Buku sudah menjadi menu wajib saat aku melakukan apapun (kecuali saat aku mandi, bekerja dan tidur). Buku sudah menjadi bagian dari hidupku. Sahabatku. Teman hidupku. Motivator pribadiku. Pengelola suasana hatiku. Ya, aku rasa kamu bisa menebaknya. Buku telah menjadi candu bagiku. Narkoba favoritku. Sehari saja tidak menyentuhnya, membaui aroma tubuhnya, membaca jalinan kata-katanya, menelusuri susunan kalimat-kalimatnya, tenggelam di dalam dunia yang dibangun oleh penulisnya, rasanya aku seolah menghembuskan napas terakhirku.

Berlebihan memang. Tapi begitulah kenyataannya. Aku memang seorang bookaholic kelas berat.

Bahkan ada yang pernah nyeletuk, "Erri mungkin bakal menikahi buku-bukunya," pada acara kumpul keluarga, saat aku dilempari pertanyaan, "Kapan kawin?" (Pertanyaan yang mulai muncul tiga tahun lalu, semenjak usiaku menginjak seperempat abad).

Suatu malam, saat aku menghadiri acara kumpul bareng sesama pecinta buku, salah seorang peserta menggumamkan sesuatu yang menganggu pikirannya beberapa minggu terakhir, "Terlalu banyak buku, sementara waktu terlalu sedikit."

Beberapa orang mengiyakannya, beberapa lagi menggumamkan kata-kata semacam, "Makanya jangan buang-buang waktu baca buku sampah" atau "Tampaknya mulai sekarang aku hanya akan membaca jenis buku favoritku saja." Tapi tidak ada yang seperti aku.

Aku merasa seolah ditampar dengan keras oleh gumamam itu. Usiaku sudah nyaris tiga puluh tahun, mungkinkah aku...

Aku kemudian pamit pulang dari acara itu. Aku bahkan masih ingat alasan yang kugunakan (sakit kepala!). Dan coba tebak apa yang aku lakukan pertama sesampainya aku di rumah?

Ya. Aku langsung menuju perpustakaan. Tempat favoritku di rumah. Yang juga merupakan sanctuary buatku, bila boleh kutambahkan.

Saat aku sendirian, buku-buku menemaniku. Saat aku hendak belajar sesuatu, buku-buku mengajariku--bahkan aku selalu bisa menemukan pelajaran baru dari buku fiksi. Saat aku suntuk, buku-buku menghiburku. Dan, saat aku nyaris bunuh diri, buku-buku menyadarkanku, memotivasiku.

Aku mondar-mandir menyusuri tiap sudutnya. Menghela dalam-dalam atmosfirnya. Kadang menarik buku dari raknya, lalu membelainya dan memeluknya dengan sayang seolah buku itu adalah anakku sendiri. Aku tahu aku kelihatan gila, tapi aku tidak peduli. Aku memang cinta pada buku-bukuku.

Kuhempaskan diriku di lantai di tengah-tengah perpustakaan. Waktu. Usia. Andai aku bisa menyuap mereka...

Masih banyak buku yang belum kubaca sama sekali. Masih banyak buku yang ingin kubaca ulang. Di salah satu sisi lemari aku menempelkan daftar buku-buku yang hendak kubeli nanti. Kebanyakan didominasi judul-judul buku sekuel dari serial yang aku suka. Daftar itu, sementara ini, berhenti di nomor 117--dan masih akan terus bertambah kalau kalian mau tahu.

Bagaimana aku bisa membaca semuanya bila waktuku habis di dunia ini?

Atau, mungkin aku bisa menerima aku bisa mati kapan saja, tapi kenapa tidak ada pemberitahuan kapan tepatnya aku tutup usia sehingga aku bisa bersiap-siap?

Kemudian, entah darimana, Saniver muncul. Hingga hari ini, hari dimana aku menulis surat ini, empat hari sebelum Hari Penjemputan-ku, aku yakin nama itu, Saniver, bukan namanya sebenarnya. Hingga hari ini juga, aku masih belum cukup terkesima oleh perkenalan dirinya.

Aku masih ingat kedatangannya saat itu tepat ketika aku sedang duduk di beranda rumah menikmati langit malam yang cerah. Malam itu tepat enam hari dari acara kumpul-kumpul bersama komunitas pecinta buku. Bintang bertaburan. Bulan sabit menghiasi bentangan gelap seperti sebuah senyuman. Aku juga ingat bunyi tawaku yang membahana ketika dia mengaku dirinya iblis.

Tentu saja saat itu aku menganggapnya sedang bercanda!

Pada awalnya, aku mengabaikan jeritan peringatan tubuhku. Mendadak udara jadi lebih dingin. Bulu kudukku meremang. Kedua tanganku secara refleks menyilangkan diri di depan dada. Tiba-tiba aku mendambakan selembar selimut hangat.

Saniver, yang mungkin tersinggung aku menganggapnya melawak, kemudian mengubah dirinya menjadi sosok yang lebih besar. Kulitnya berwarna hijau kacang polong. Gigi taringnya mencuat keluar dari mulut. Sosok pria muda tampan berjas dan berdasi yang tadi diperlihatnya hilang tanpa bekas. Lalu bibirnya bergerak, meloloskan sebuah kalimat, "Atau kamu lebih suka dengan penampilanku yang ini?"

Aku menggeleng cepat. Mulutku terlalu kelu untuk digunakan. Detik berikutnya, raksasa hijau itu diselimuti angin puting beliung dan sosoknya kembali menjadi pria muda tampan.

Baru aku menyadari ada yang aneh dengan matanya. Matanya... Bersinar.

"Aku dengar kamu punya masalah besar," katanya.

"Da-da-ri du-du-lu--" Aku berdeham, membersihkan tenggorokanku, menelan ludah dengan susah payah. "Hanya... orang mati... yang tidak punya masalah."

"Jangan terlalu yakin dulu," katanya. "Perkenalkan namaku Saniver. Dan aku bisa membantumu menyelesaikan masalah besarmu."

"Sebenarnya, aku sedang tidak dalam masalah besar."

"Jadi keterbatasan waktu bukan masalah besar?"

"Keterbatasan waktu?" ulangku, belum begitu paham maksudnya.

"Berapa banyak buku yang ingin kamu baca?"

Berapa banyak buku... Keterbatasan waktu... Kemudian aku paham maksudnya. "Kamu mau membantuku hidup abadi?"

"Tentu saja tidak. Bukan aku yang memiliki waktu." Dia menawarkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak bisa kutolak: kemampuan membaca cepat.

Aku tahu kemampuan itu bukan solusi yang tepat untuk memecahkan masalah keterbatasan waktuku. Tapi aku terpana saat dia mendemonstrasikan (dia menyentuh bahuku dengan tangannya) kemampuan itu. Dia mengambil sebuah buku tebal dari ketiadaan. Aku melihat sekilas judul buku yang dipegangnya dan aku hapal sekali buku itu punya jumlah halaman yang lumayan fantastis--tepatnya 1200 halaman.

Hanya dengan menyentuhnya, buku yang tebalnya 1200 halaman itu habis terbaca dalam waktu kurang dari 10 menit! Bahkan tanpa mermbolak-balik halamannya!

Kalau begitu, aku tidak perlu membeli sebuah buku lagi. Cukup datang dan menyentuh buku dan aku telah membacanya!

Aku, tanpa pikir panjang, menerimanya.

Namun, tentu saja, semua ada harganya. Saniver akan datang 10 tahun mendatang untuk mengambil jiwaku sebagai ganti “hadiah”-nya. "Kamu yakin mau menerima bantuanku?" tanyanya untuk terakhir kali sebelum mengulurkan tangannya.

Keyakinan sebenarnya hanya sebesar 80% saja. Tapi mengingat aku bisa membaca cepat, aku berkata, "Ya."

Kamu tahu berapa banyak buku yang kubaca di hari pertama aku memiliki kemampuan membaca super kilat? 198 buku! Salah satunya, aku penasaran ingin mencoba, adalah buku telepon yang saking tebalnya bisa digunakan sebagai bantal.

Dana yang biasa kusisihkan untuk membeli buku, yang biasanya minta tambahan uang utama--uang yang ada di dompetku untuk kebutuhan sehari-hari, hanya tersentuh seperempatnya saja. Aku hanya membeli, atau bisa kalian sebut mengoleksi, buku-buku yang kuanggap bagus saja. Aku jadi bisa membelikan hadiah untuk ibuku--tentu saja beliau tidak tahu-menahu soal perjanjianku dengan Saniver. Ibuku senang. Dia mengira, akhirnya aku sadar untuk tidak menimbun banyak buku lagi, sebab rumah kami, kalau aku masih meneruskan kegemaranku, lama-kelaman tidak punya banyak tempat lagi untuk menampung buku-bukuku.

Dalam beberapa hal, aku sedikit menyesalinya. Menyesal kenapa aku begitu egois dan membiarkan ibuku menghadapi tragedi. Hidup lebih lama dari anaknya. Tapi aku tidak bisa membatalkan perjanjian. Janji tetap janji. Mau tak mau, jiwaku harus kuserahkan pada...

Entah kenapa mendadak aku tak sanggup menuliskan lagi namanya.

Nah, sekarang kamu tahu rahasiaku. Belum ada yang tahu mengenai perjanjian yang aku buat dengan pria muda tampan yang sempat menjelma jadi raksasa berkulit kacang polong itu.

Siapa pun kamu, aku harap kamu lebih bijaksana dariku dalam membuat pilihan. Aku sendiri merasa pilihan yang aku buat tidak sepenuhnya salah, sebab aku sempat mencicipi nikmatnya kebahagiaan yang tidak akan kutukar dengan apapun. Tapi pilihanku juga tidak sepenuhnya benar. Pilihan yang kuambil terlalu terburu-buru dan tanpa pikir panjang, hingga menyisakan penyesalan.

Sebelum kututup suratku ini, aku ingin berterima kasih padamu karena telah menyisihkan waktu sedikit untuk membaca surat pengakuanku yang tidak penting ini, dan bukannya membakarnya atau (lebih parah lagi) menggunakannya sebagai pengganti kertas tisu.

Sekali lagi terima kasih.

Yang ingin menjadi temanmu,
ERRI.

==============================
Note:
Cerpen bertema BUKU ini sebenarnya aku buat dalam rangka memeriahkan ulang tahun BBI yang kedua. Selamat ulan tahun Bebi :')

Sebenarnya jauh-jauh hari dulu, dari teman-teman di BBI, berencana posting bareng cerpen bertema buku. Tapi tampaknya... banyak yang telah lupa :(

9 comments:

  1. Apa kabar Erri? ^^ Dimanapun kau berada saat ini :) Ohh saya yakin bahkan di surga pun akan ada banyak buku-buku yang bagus. Jika tidak, itu bukan surga namanya! Tapi mungkinkah kau masuk neraka karena memiliki perjanjian dengan iblis? Yeah kalau itu terjadi, kamu mungkin akan cukup sibuk di sana sehingga melupakan tentang buku ^^

    BalasHapus
  2. jleb amat ini surat :| *mandangin deretan buku di ujung tempat tidur*

    BalasHapus
  3. wow ._. fantastis, bombastis dan sedikit elastis (?)
    tapi mungkin kalau jadi Erri aku akan memilih tidak pernah membuat perjanjian dengan umm siapa td namanya ._.
    maksudku dimana asyiknya membaca buku secara kilat :p

    BalasHapus
  4. Jadi perjanjian baca cepat ditukar dengan nyawa ibunya Erri?

    BalasHapus
  5. >> Prue "Air Bersih" (?)
    Wah, tumben nih Jeng Yul mampir kemari :))
    Namanya Saniver kak (?)

    >> Desty
    Bukan mbak Desty, tapi sama jiwanya si Erri ._.

    BalasHapus
  6. Aaaakkkk... #JLEBB bacanya ( ʃ⌣ƪ)

    @lucktygs
    http://luckty.wordpress.com

    BalasHapus
  7. hwa.. iya.. ada yang kelewat bacanya :)pantesan bingung tadinya.

    *baca ulang*

    BalasHapus
  8. Haduhh.. jadi berapa banyak buku yang udah dibaca Erri dari sejak membuat perjanjian dengan Saniver? Apa Erri masih tetap bisa menikmati buku yang kini hanya butuh waktu singkat untuk membacanya?

    Anywayy.. suka ama cerpennya :D

    BalasHapus
  9. Makasih :'D

    Berapa banyak buku yang sudah Erri batja ya? Nggak keitung deh pokoknya :)))

    BalasHapus

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!