Kalimat pertama Eye of the Crow
Murder came in darkness.
Sececap Eye of the Crow
Seorang wanita berjalan seorang diri di jalanan yang sepi pada tengah malam yang dingin dan berkabut. Dia mungkin hendak pulang ke rumahnya yang hangat. Atau bisa juga hendak menemui seseorang. Yang manapun yang benar, yang pasti dia bertemu dengan seseorang. Pertemuan yang tidak menyenangkan. Seseorang itu menghabisi nyawanya dan membawa pergi dompetnya!
Selama beberapa hari, kota kecil yang menjadi tempat kejadian perkara tersebut geger. Pasalnya selain identitas korban sulit diidentifikasi, pelaku juga dengan lihai menutupi jejaknya. Ditambah lagi tidak ada seorang pun yang melihat kejadian itu.
Atau setidaknya tidak ada manusia yang melihatnya. Tapi ada makhluk lain yang melihatnya: para gagak.
Namun, hanya sedikit saja yang menyadarinya. Salah satunya adalah bocah belasan tahun bernama Sherlock Holmes.
Beberapa hari kemudian, seorang pemuda Arab ditangkap dengan pisau bersimbah darah di genggamannya oleh pihak berwenang. Mungkinkah dia pelaku pembunuhan disertai perampokan itu? Tapi bila dia pembunuhnya, kenapa dia mengaku tidak bersalah? Apa karena sudah pada dasarnya penjahat yang seringnya bilang kebalikan dari yang dilakukannya? Dan bila dia pelakunya, lantas dimana dompet si wanita?
Perlu diketahui, pemuda Arab ini hanya pekerja yang punya satu kamar kecil untuk tinggal. Dan meski telah digeledah, tak ada bukti keberadaan dompet si wanita.
Kemudian, karena satu dan dua hal, Sherlock ikut ditangkap oleh polisi. Dia ditangkap dengan tuduhan membantu si pemuda Arab!
Kira-kira, bagaimana cara Sherlock keluar dari jerat hotel prodeo yang jelas-jelas telah salah menerimanya menginap? Dan bagaimana pula dia membuktikan bahwa dia, dan mungkin si pemuda Arab, tidak bersalah dalam kasus pembunuhan di tengah malam buta tersebut?
Citarasa Eye of the Crow
Hal pertama yang aku rasakan begitu sampai di kata terakhir novel anak ini adalah kelegaan. Iya, lega. Lega akhirnya bisa menyelesaikannya, sebab di pertengahan cerita aku sempat ingin menghentikan diri membatja buku berjudul Eye of the Crow ini.
Eye of the Crow diawali dengan menjanjikan. Meski sang penulis mendiktekan sifat para tokohnya (Sherlock ini seperti ini, karakter lain itu seperti itu, dan seterusnya), aku tidak terganggu dengan itu. Mungkin karena Eye of the Crow ini bersifat retelling dengan mengambil setting di masa sebelum Sherlock tumbuh besar dan bertemu dengan Dr. Watson. Saat awal-awal batja, aku sempat mengira The Boy Sherlock ini bukanlah retelling dengan mengambil sudut pandang Sherlock ketika masih bocah, tapi lebih ke semesta alternatif dimana Sherlock dan Irene Adler (karena masih muda, namanya diganti jadi Irene Doyle, sesuai nama "penemu" Sherlock) dijadikan anak belasan tahun. Aku berpendapat seperti itu karena Inspektur Lestrade (bener inspektur nggak, ya? Aku agak sedikit lupa soalnya, hahah) sudah tua sekali. Sementara di novel karya Opa Artie (Arthur Conan Doyle, red) Lestrade ini memang tua, tapi tidak sampai sangat tua. Tapi, tentu saja, yang aku tunggu akhirnya muncul yakni, Lestrade junior muncul di pertengahan cerita. Dan dia berminat sekali mengikuti jejak ayahnya.
Kemunculan Lestrade junior ini tentu menghilangkan efek semesta alternatif dan menjadikan Mr. Peacock kelihatan kreatif di mataku. Menceritakan masa kecil Sherlock, dengan ditemani ayah dan ibunya yang ternyata dari dua bangsa yang berbeda, darimana Sherlock bisa punya akses ke orang-orang jalanan, dan... tentu saja darimana kemampuan deduksinya yang terkenal.
Kemunculan Irene di The Eye of the Crow ini cukup mengejutkanku. Salah satu dari dua hal yang mengejutkanku dari novel anak-anak ini. Irene digambarkan datang dari keluarga yang berada, tidak dalam kesulitan keuangan (seperti di film Sherlock Holmes yang dibintangi Robert Downey jr.), tapi sama seperti serial tv Sherlock, membuat Sherlock penasaran karena sama-sama menghadirkan efek dimana Sherlock tidak bisa "membatja" Irene. Tidak seperti orang lain yang mudah bagi Sherlock untuk dibatja (di mana mereka tinggal, karakter orangnya seperti apa, mereka baru mengerjakan apa, dan lain-lain). Kemunculan Irene ini membuatku bertanya-tanya, apa di versi asli buatan Mr. Doyle, apakah Sherlock sudah mengenal Irene sejak lama?
Aku belum batja novel Sherlock dimana Irene muncul, omong-omong.
Dan aku juga sedikit kecewa. Mr. Peacock tidak bisa meyakinkanku bahwa Irena sulit dibatja. Tidak seperti di serial tv yang Irene-nya memang bikin penasaran sekali. Irene di Eye of the Crow ini mudah sekali ditebak. Aku tidak terkejut sama sekali ketika Irene menemui seseorang dengan berteriak, sejak mereka (?) berkenalan aku tahu akan ada adegan itu.
Hal yang membuatku terkejut yang satunya lagi adalah Mr. Peacock memasukkan isu kemanusiaan di dalamnya. Hal yang aku suka. Dieksekusi dengan cukup bagus, tapi sayang, tidak dibahas cukup banyak. Hanya karena seseorang ditemukan dengan pisau bersimbah darah bukan berarti dia pelaku pembunuhan, kan? Hanya karena seseorang itu dari ras tertentu, ras yang diduga melakukan banyak aksi teror, bukan berarti kejahatan mengalir di tiap nadinya, kan?
Satu lagi yang bikin aku penasaran, kenapa Sherlock dan hanya Sherlock yang disebut dengan julukan “Master”, Master Holmes? Ayahnya disebut Mister, orang yang punya banyak jasa seperti ayahnya Irene juga disebut Mr, Lestrade yang menangkap banyak penjahat juga disebut Mr, jadi kenapa Sherlock disebut berbeda? Dia masih kecil di Eye of the Crow, apa yang diperbuatnya sebelum Eye of the Crow sehingga dia layak menyandang master? Karena kemampuan deduksinya? Tapi ada yang punya kemampuan itu selain Sherlock tapi kenapa dia tidak dipanggil dengan julukan master juga? Dan kalau memang benar panggilan itu disebutkan oleh deduksinya yang jempolan, itu artinya kemampuan itu diketahui banyak orang dong?
Nyinyir (artinya tidak mengikuti arti di KBBI tapi kebanyakan masyarakat) banget ya diriku? :)))))
Bagaimana dengan ceritanya sendiri? Ceritanya lumayan, tapi cukup membosankan. Tapi aku suka penggunaan bahasanya. Sopan dan bergaya khas zaman lampau.
Secara keseluruhan, aku tidak terlalu menikmati Eye of the Crow. Isu kemanusiaan yang diangkat cukup bagus, tapi petualangan Sherlock dalam membuktikan dia bersalah kurang begitu oke diikuti. Klimaksnya, karena keterbatasan setting tidak membuatku jengkel sepeti di buku ini, oke tapi tidak memberi kesan. Endingnya lumayan. Tidak bahagia, tidak pula sedih. Dan tidak menggantung karena misteri terjawab tuntas.
Eye of the Crow
Penulis: Shane Peacock
Penerbit: Tundra Books
Tahun terbit: 2007
Tebal: 264 halaman
Seri: The Boy Sherlock Holmes #1
Genre: Misteri - Crime fiction - Adventure – Retelling
Score: Sugar Free (2 0f 5 stars!)
Target: Teen (13 tahun ke atas)
Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::
bagus yang Death in The Air, buku keduanya.. tapi cita rasanya emang anak-anak sih.. kalau mau baca Sherlock ketemu Irene yang asli karangannya Sir Arthur, ada di Skandal di Bohemia :) nice review..
BalasHapusOoh, di Skandal di Bohemia, oke masukin wishlist :D
HapusThanks! :D