Just Between Us by J. H. Trumble

First line of Just Between Us

Luke Chesser looks miserable and embarrassed as he grinds the toe of his athletic shoe into the superheated concrete not eight feet from me, his clarinet gripped tightly in his right hand.

Sececap Just Between Us

Kenapa sih Luke tidak mau mengerti juga? Kenapa dia terus saja mendekatiku, membuat keputusanku—dan hatiku—goyah? Demi Tuhan, aku menjauh demi kebaikannya!

Aku positif. Aku terinfeksi HIV/AIDS. Dan aku tidak ingin dia tertular virus bangsat ini.


Citarasa Just Between Us

Sebelumnya, maafkan umpatan yang aku gunakan di akhir sececap. Heheh.

Just Between Us menggunakan dua sudut pandang, Curtis dan Luke, yang dua-duanya sama-sama menggunakan POV orang pertama. Bab pertama diisi oleh Curtis, yang ... Hnn, sejujurnya aku tidak tahu apa sebutan untuk pekerjaan yang dilakukannya di sekolah SMA-nya. Dia sudah lulus, dan dia sudah kuliah dan masuk tahun kedua.

Aku sering membatja novel remaja Amerika, tapi aku tidak terlalu memperhatikan istilah seperti freshmen dan sophomore. Maksudku, aku memperhatikan, tapi tidak sampai penasaran dan mentjari tahunya. Aku mengira itu sebutan untuk kelas satu dan dua. Dan perkiraanku benar. Tapi perkiraanku meleset di istilah junior. Aku kira junior itu sama artinya dengan freshmen. Tapi ternyata itu sebutan untuk jenjang ketiga. Berkat Just Between Us ini, aku sampai mentjari tahu soal sistem pendidikan di Amerika. Kenapa aku melakukannya?

Pertama, karena Curtis berulang kali nyebut Luke masih anak-anak karena dia masih sekolah (bisa dimaklumi). Kedua, Adeeb, teman Curtis, menyebut Luke junior dan mengejek kemampuan Luke (ini kenyataan yak, dan tidak digunakan Adeeb untuk offensive) dalam bermusik lebih buruk dari seorang freshman (dua istilah disebut yang bikin aku bingung sekaligus menumbuhkan bibit penasaran). Ketiga, perbedaan umur Luke dan Curtis. Luke 17, Curtis 19. Hal itu bikin aku bertanya-tanya lagi, "Bukannya Luke masih kelas satu, kok sudah 17 tahun? Apakah dia pernah tinggal kelas?" (Pertanyaan ini muntjul kala aku masih mengira junior itu sama artinya dengan freshmen).

Jadi, aku pun mentjari tahu. Ternyata ... SMA di Amerika dijalani selama 4 tahun. Dimulai dari kelas 9 hingga kelas 12. Kelas 9 disebut freshman. Kelas 10, sophomore. Kelas 11, junior. Dan kelas 12, senior. (Dan aku pun akhirnya tahu! Selamat datang pengetahuan baru.)

Kembali ke Curtis. Dia sudah lulus dari SMA-nya, dia sudah menjalani satu tahun kuliah di Univercity of Texas (UT)—yang kemudian dia memilih keluar dan pindah ke universitas lain, tapi dia masih berada di bekas SMA-nya dan ikut membantu menangani musik band sekolahnya. Dia tidak terikat jadwal alias bisa pergi kapan saja (dua minggu dari hari latihan, yang merupakan adegan pembuka novel ini, dia akan melanjutkan kuliahnya yang sempat terhenti). Aku tidak tahu dia digaji atau tidak, setjara hal itu tak pernah disinggung sepanjang buku.

Sementara untuk Luke, dia murid pindahan. Seorang junior. Dia bergabung di music band sekolahnya. Dan permainannya buruk. Dia sering ditegur Curtis. Kelihatan biasa saja? Tunggu hingga kalian tahu alasan dia dan keluarganya, ibu dan adik laki-lakinya, Matt, pindah. Mereka pindah ke sana karena ayah Luke menyakiti Luke karena dia gay. Ibu Luke yang tidak terima anaknya dianiaya memutuskan untuk berpisah dan pindah rumah.

Tapi perlu kalian ketahui, di bab 2, ayah Luke datang ke rumah. Dia berentjana kembali kepada keluarganya dengan mentjoba berubah dan menerima Luke apa adanya. Hal yang tidak mudah, baik bagi Luke maupun ayahnya. Luke sematjam trauma tiap berada di dekat ayahnya—tubuhnya seringnya tegang seolah bersiap-siap menerima pukulan. Sementara ayahnya, yah, kesulitan merubah perspektifnya yang menganggap Luke itu tidak normal. Dia masih bersikap pilih kasih dan fokus pada Matt yang hetero, dan masih menyangkal fakta dan hidup dalam delusi bahwa putra sulungnya tertarik pada perempuan.

Curtis dan Luke sudah sering bertemu. Tapi mereka baru benar-benar bertemu ketika mereka tak sengaja bertemu di danau di dekat rumah mereka. Mereka ternyata tinggal di jalan yang sama, tapi keduanya sama sekali tak mengetahuinya (bukan hal yang mengherankan, apalagi di zaman sekarang). Sejak saat itu mereka jadi lebih dekat, dan penilaian awal mereka pada masing-masing pribadi sontak berubah.

Tapi kemudian, setelah mereka sangat dekat, bahkan meski keduanya belum mengutjapkan mereka berniat menjalani masa depan bersama-sama, Curtis tiba-tiba menerima telepon dari seseorang yang berasal dari masa lalunya. Dari seorang pria, bukan patjar hanya hubungan sama-sama enak (?), yang mengabarkan bahwa dirinya positif!

Bukan positif hamil yak, emang dia cowok apaan? :))

Maksud dari positif itu adalah dia positif HIV. Dan dia menyalahkan Curtis karena Curtis merupakan satu-satunya cowok yang pernah 'ber-ehm ria' dengannya.

Pada awalnya, tentu saja, Curtis tak percaya pada temannya itu. Atau, kalau meminjam omongan Curtis: bajingan itu. Lagipula dia tampak sehat dan bugar. Tapi setelah dia melakukan cek darah sendiri ... Ingatan tentang masa lalunya yang liar sontak memenuhi otaknya.

Tentu saja Curtis tidak membeberkan fakta terbaru dirinya. Tidak pada Luke. Tidak pada keluarganya. Dia malu. Dia marah. Dia merasa dirinya super sehat sehingga dia bertahan dengan mengandalkan tubuhnya sendiri tanpa bantuan obat-obatan khusus yang diracik untuk penderita HIV positif dan/atau AIDS. Dia berubah menjadi pribadi super moody, yang mana kadang sikapnya manis, kadang sikapnya kebalikan dari manis.

Keluarganya merasakan perubahannya, terutama karena Curtis semakin tertutup, tapi mereka tak mempermasalahkannya. Mereka hanya mengira-ngira penyebabnya. Apalagi kala itu Luke telah masuk ke dalam hidup Curtis (belum pernah Curtis menjalin hubungan yang seserius hubungannya dengan Luke). Tapi hal itu dikarenakan Curtis jago membawa dirinya. Tapi begitu bersama Luke ...

Luke tahu ada yang berubah pada diri Curtis, Curtis mendadak jadi pemain layang-layang dan dirinyalah layang-layangnya, ditarik diulur ditarik diulur, tapi dia tak tahu apa penyebabnya. Di satu saat Curtis ingin menciumnya, tapi di sisi lain dia menolak dengan sangat keras ciuman dari Luke. Luke punya dugaan sendiri. Seperti semisal, Curtis hanya mempermainkannya.

Wew, aku tak sadar sudah menulis sepanjang ini :))

Tapi karena sudah terlanjur ditulis, jadi ya sudahlah. Dan karena aku yakin jarang yang batja buku ini, jadi aku rasa nggak apa juga postingan ini mengandung banyak sekali sop iler, hahah.

Curtis ini karakternya cukup unik. Dia tidak menyangkal dirinya gay, semua orang tahu itu, tapi dia juga tak mengakuinya setjara blak-blakan—dia hanya blak-blakan pada orang terdekatnya. Tapi itu bukan bagian teruniknya, yang unik adalah dia takut disebut gay.

Kalau dipikir-pikir lagi ketakutannya diejek akan orientasinya adalah hal yang lumrah yang biasa dialami. Tapi aku tetap menyebutnya unik karena ketakutannya ini masuk tahap cukup ekstrim yang bisa menjadikannya homophobic. Seorang gay yang homophobic. Dia mungkin tak masalah disebut gay, asal tidak di hadapannya langsung. Tapi dia takut disamakan dengan gay pada umumnya: sebuah anomali, sesuatu yang berbeda, para invalid. Dia ingin dilihat dan dipandang sebagai manusia biasa.

Dari keunikannya itulah dia merahasiakan soal penyakitnya. Sebab biasanya HIV/AIDS diidentikkan sebagai penyakit gay—terlepas penderita HIV/AIDS terbanyak benar-benar dari gay atau hetero. Dan dia tak mau penyakit itu mendefinisikannya. Dia tak mau dipandang sebagai manusia kelas dua.

Dan gara-gara itu juga, Curtis tak mengambil pengobatannya.

Bagaimana dengan Luke? Yang mengejutkan, karakternya terasa nyata. Aku mengira dia bakal jadi patjar, atau seseorang, yang bakal supportif dan bermanis-manis pada Curtis sejak awal. Tapi ternyata tidak. Ketika Curtis pada akhirnya mengaku bahwa dirinya positif, Luke justru mencibirnya. Sudah selayaknya seseorang seperti Curtis, yang playboy (hanya menurut dugaan Luke), yang suka mainin perasaan, yang suka php, yang bilang ingin mentjium tapi ternyata hanya omongan saja, mendapatkan hadiah seperti penyakit tersebut. Butuh proses yang cukup lama bagi Luke mengerti sebenarnya persoalan Curtis. Tapi apakah setelah Luke jadi pengertian hubungan mereka menjadi membaik?

Masih panjang sob ceritanya. Dan aku kasih tahu nih, jawabannya tidak. Malah semakin memburuk. Curtis benar-benar minta dikeplak! Gimana nggak? Dia masih pengen hidup panjang, dia merasa tak pantas dihinggapi virus itu (Siapa dia coba?), dia ingin menikah dengan Luke, tapi apa yang dilakukannya? Menghindari pengobatan, marah-marah menyalahkan dunia, bertindak super brengsek agar Luke menjauhinya.

Luke menebalkan hatinya. Mencoba mengerti bahwa Curtis sedang depresi dan sebagainya. Dia juga berjanji untuk tidak mengatakan soal Curtis yang positif pada siapapun. Tapi setebal apapun kesabaran seseorang, kesabaran itu pasti ada batasnya. Dan ketika dinding kesabaran itu runtuh, hubungan mereka semakin memburuk.

Bagi Curtis, Luke itu si brengsek ingkar janji bermulut botjor yang butuh No Drop #bukaniklan. Bagi Luke, Curtis itu si brengsek yang tak bisa menghargai kebaikan orang lain.

Yang menarik dari novel romansa ini adalah tidak ada eksplorasi rupa fisik setjara berlebihan. Hanya detail biasa kalau Luke itu berambut pirang, tipikal fisik All-American Boys (aku akan mentjari tahu soal ini nanti). Dan Curtis ... Aku lupa gimana rupa fisiknya. Yang jelas, dua model yang digunakan di sampul itu aku yakin bukan mereka berdua :)))

Ada dua tokoh sampingan yang mencuri perhatian: Matt, adik Luke, dan Robert Westfall.

Robert perannya dikit, tapi dia adalah salah satu yang melemparkan pertanyaan menohok pada Luke, Apa sih yang membuat Luke menyukai Curtis? Karena aku sama seperti Rob, heran pada Luke seolah dia nggak bisa nyari cowok lain saja. Aku sempat berharap Luke menjawab pertanyaan itu dengan, "Because he's the main character in this story." :)))

Matt, adik Luke, adalah salah satu tokoh sampingan yang diberi detail cukup banyak di samping Corrine, saudari kembar Curtis. Pada awalnya, aku kira Matt itu anak yang berpikiran dewasa—sebab pemikirannya sudah super wow meski tjara bitjaranya terdengar lugu (salah satu hal yang patut kuacungi jempol pada penulisnya), tapi setelah melihat video wawancara yang dibikin Fine Brothers di Youtube, aku kira dia masih bersikap sesuai umurnya, hanya saja pemikirannya memang sudah oke punya.

Matt ini suka sekali dengan kegiatan pramuka. Dan dia punya sahabat baru di kota tersebut yang suka pramuka juga, dan (kemungkinan) gay, dan sempat hendak dijodohkan pada abangnya (Hahah xD ) Tindakannya terkesan konyol, tapi sekaligus manis :')

Gimana dengan ending?

Endingnya sebagus novel romance pada umumnya. Luke akhirnya bisa meyakinkan Curtis, Curtis akhirnya jujur pada semua orang akan penyakitnya dan dia berjanji akan hidup sehat, dan sebagai ganjaran atas kejujurannya, dia mendapatkan apa yang tidak dia sangka-sangka. Tapi yang aku suka adalah, tidak ada kata-kata super manis yang berhamburan, tapi kata-kata masuk akal yang masih bisa diwujudkan bila diusahakan.

Lalu bagaimana dengan virus/penyakit HIV/AIDSnya, apakah mendapat porsi yang cukup? Porsinya cukup banyak. Ada banyak pengetahuan yang dicetak di Just Between Us ini. Tapi kebanyakan sih adalah pengulangan anti-mitos seputar AIDS yang sudah sering kubatja.

Secara keseluruhan, Just Between Us cukup lumayan. Chemistry antara dua tokoh utama kurang terasa oke memang, tapi masih dalam taraf masih bisa dimaklumi. Konflik paling menarik adalah konflik keluarga Luke. Sayang, porsinya masih kurang dibanding romansanya. Romansa yang kurang lebih bikin jengkel karena salah satu tokohnya minta dijitak.

Untuk perkenalan kepada tulisan J. H. Trumble, buku ini lumayan. Gaya menulisnya oke, dan mudah dicerna meski Miss Trumble ini tampaknya suka sekali memasukkan istilah-istilah dan bahasa gaul orang Amerika—jelas akan menambah perbendaharaan kosakataku. Seandainya aku nemu bukunya lagi, mungkin aku akan mengambilnya dan membatjanya.

Just Between Us
Penulis: J. H. Trumble
Penerbit: Kensington Books
Tahun terbit: 2013
Tebal: 320 halaman
Genre: Romance - LGBT - Family Fiction - Sick Literature
Stew score: Sweet (3 of 5 stars)
Target: Young-Adult (15 tahun ke atas)

Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::

kategori: 101 Genre - LGBT


2 comments:

  1. halo, i adore all your reviews. :D
    buat buku ini ada versi bahasa indonesianya gak ya? dan kalo ada rekomendasi seller dong :D cheers

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hey, thamks, bro :))
      Unfortunately, this book haven't yet translate to Indonesia. Jadi ya dirimu mesti beli buku versi aslinya. Bisa beli di toko buku lokal yang menjual buku-buku bahasa Inggris kayak Periplus atau Book and Beyond.

      Hope this helps.

      Hapus

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!