Blindness by Jose Saramago

Blindness

Penulis: Jose Saramago
Penerbit: Ufuk Fiction (penerbit ini sekarang ganti nama jadi Fantasious)
Tahun terbit: 2007
Tebal: 424 halaman
Seri: Blindness #1
Genre: Fantasi - Dystopia
Stew score: Delicious!
Target: Adult! (17 tahun ke atas!)

Kalimat pertama Blindness
Lampu kuning menyala.

Sececap Blindness

Di tengah lalu lintas yang padat, seorang pengemudi mobil mewah tiba-tiba disergap kebutaan. Hanya saja, bukannya kegelapan yang menghampiri, melainkan warna putih terang. Ya, butanya beda. Seolah-olah lampu putih sangat terang disorotkan langsung ke bola mata!

Dokter mata, saat memeriksa lelaki buta itu, tidak menemukan keganjilan apapun. Mungkinkah kebutaan yang dialami oleh lelaki itu jenis kebutaan baru? Lagipula bukankah kebutaan biasanya selalu identik dengan kegelapan, lantas kenapa lelaki buta itu mengaku justru dihantam terang yang sangat terang, seakan-akan ada susu yang menghalangi pandangannya?


Beberapa jam kemudian, sang dokter mata, yang memeriksa lelaki buta si pengemudi mobil mewah, mengalami hal serupa: dia buta. Buta yang terang benderang!

Penyakit macam apa itu? Mungkinkah penyakit buta itu menular?

Dugaan si dokter benar. Di tempat lain, seorang pencuri mobil, seorang pelacur, seorang anak lelaki yang masih lugu, mengalami hal yang sama.

Kebutaan itu mendapat sebutan sebagai kebutaan putih dan menjadi masalah nasional. Pemerintah dan menteri kesehatan mengambil langkah antisipasi, agar kebutaan putih itu tidak menulari yang lain, dengan mengkarantina mereka yang telah buta dan orang-orang yang belum buta tapi terkontaminasi atau berinteraksi dengan mereka.

Pada awalnya semuanya terasa menjanjikan. Pemerintah bersama Menteri Kesehatan mencoba menemukan obat kebutaan putih itu.

Bagaimana dengan mereka yang dikarantina? Tentu urusan logistik ditanggung oleh pemerintah.

Namun, pada akhirnya, upaya antisipasi itu gagal. Wabah kebutaan putih tak bisa dibendung! Semua orang menjadi buta, kecuali satu orang. Satu orang yang berpura-pura buta.

Citarasa Blindness

Pertama kali tahu soal novel karya Jose Saramego ini adalah saat aku menjelajahi daftar buku-buku bergenre utopia dan dystopia di Goodreads. Ketika membaca blurbnya, aku tanpa ragu memasukkannya ke dalam wishlist. Tapi... betapa terkesimanya diriku ketika tahu buku ini sudah ada versi terjemahannya! Bagaimana mungkin aku tidak tahu? Kalau menurut hematku, buku ini tampaknya tak terlalu dikenal di Indonesia, walau telah bestseller di mana-mana dan telah diadaptasi ke layar lebar.

Oh ya, Blindness ini sudah diangkat ke layar lebar dengan judul sama. Dengan Mark Ruffalo sebagai dokter mata. Julianne Moore sebagai istri dokter. Dan Alice Braga sebagai gadis berkacamata hitam. Bisa dibilang adaptasinya tidak "membuang" banyak hal dari novelnya, dan tak banyak penambahan yang dilakukan. Semua adegannya nyaris sama. Plotnya juga sama.

Bila di adaptasi filmnya beberapa tokoh krusialnya diberi nama, di buku tidak. Di buku, nama tak jadi penting. Para tokohnya, yang cukup banyak, dari awal sampai akhir hanya disebut dengan "gelar mereka:" dokter, isteri dokter, lelaki buta pertama, gadis berkacamata hitam, dan seterusnya.

Uniknya, walau tak pernah diberi nama, karakter-karakter tokoh-tokoh itu terasa sangat kuat sekali, dan aku sebagai pembaca tak pernah kesulitan untuk mengenali.

Kalian mungkin penasaran, apa dan kenapa wabah kebutaan putih mendatangi negeri orang-orang malang itu?

Blindness memang menggunakan penyakit sebagai dasar utamanya ceritanya. Bahkan penulis juga memberi data-data dan istilah-istilah ilmiah kedokteran yang berhubungan dengan mata dan penyakit yang menyerang indera penglihatan tersebut. Tapi bagiku kesakitan itu bukan hal utama yang ingin disampaikan penulis. Penulis memakai penyakit itu untuk menulis manusia.

Ketika kondisi masih baik-baik saja, ketika manusia di negeri tak bernama ini belum dikejutkan oleh wabah kebutaan putih, semuanya berjalan normal. Senormal yang disepakati oleh para penduduknya. Lantas bagaimana kondisinya setelah disusupi wabah yang tak dikenal?

Berbagai reaksi bermunculan. Kepanikan bagi mereka yang diserang. Ketakutan bagi mereka yang tak mau tertular. Memanfaatkan situasi bagi mereka yang oportunis. Dan masih banyak situasi lainnya. Termasuk ketidakpedulian.

Di tiga perempat buku, kita akan diberi sajian kondisi-kondisi tersebut. Dari mencoba untuk tidak panik, mengendalikan situasi sebaik mungkin, terbiasa, hingga ada golongan yang memanfaatkan situasi yang sama-sama merundungi mereka. Sementara sisanya adalah ketika pada satu titik telah terjadi rutinitas dan kesepakatan.

Oh ya, jangan lupa kebutuhan dasar manusia: makan, berhajat, dan... Erm, kebutuhan biologis. Walau buta, walau mata bagai disorot sinar yang seterang Sirius, mereka tetap manusia, bukan? Lalu... Bagaimana cara mereka melakukan itu semua? Aku bisa bilang: pada awalnya berjalan normal.

Secara keseluruhan, Blindness novel yang luar biasa. Untuk buku yang bicara kemanusiaan buku ini terbilang sangat ringan. Namun sayang, novel ini kurang begitu dikenal di Indonesia. Mungkinkah karena kurang promosi? Atau mungkinkah karena sampulnya, sampul edisi terjemahan, yang kurang begitu bagus dan terasa ganjil? Aku sendiri, seandainya hanya memandang sampulnya saja, tanpa membaca kilasan yang tercetak di belakangnya, ketika menemukannya di toko buku dijamin tidak akan membawanya ke meja kasir. Sayang, kan? Padahal Blindness ini buku yang keren sekali.

Atau mungkin itu hanya dugaanku saja? Maksudku, apakah ketidakterkenalan Blindness ini karena banyak pembaca tidak menyukai ceritanya yang cukup absurd? Absurd karena penyakit kebutaan itu datang secara tiba-tiba dan tak pernah muncul penjelasannya kenapa?

Penampakan Blindness dan Replay [foto dari koleksi pribadi]

Bagi yang suka mempertanyakan banyak hal, seperti aku misalnya, hahah, pasti penasaran dengan satu-satunya orang yang tidak buta: Kenapa hanya dia, apa yang bikin dia begitu spesial hingga tidak terkena dampak? Apalagi dia melakukan tindakan yang kurang baik juga. Oh, ya, tidak ada tokoh yang benar-benar baik di sini. Dugaan pertamaku adalah... karena dia punya cinta. Karena dia punya cinta, dia masih bisa melihat. Melihat banyak hal. Antara yang baik dan buruk, benar dan salah, mengerikan dan sudah lumrah, dan seterusnya.

Bagi yang suka buku bertema kemanusiaan dan dystopia, buku ini sangat cocok untuk kalian.


P.S.
Terima kasih pada Gita S.P. dan kak Selvi karena telah mau dititipi buku yang telah langka dan diobral ini.

Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::
| | | | | | | read big

8 comments:

  1. ahhh aku penasaran, pernah nonton filmnya tapi cuman sekilas.. iya, kayaknya gara2 covernya yang tak mengundang jadi ilfil duluan..sayang ya padahal, kayaknya ceritanya baguuus

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, sayang sekali kak.

      Filmnya juga lumayan, kak, tonton juga setelah baca bukunya :D

      Hapus
  2. Sayang covernya gak kamu tampilin Jun >.<
    Ih kayaknya menarik deh!!! Buku semakin banyak saja T__________T

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, udah aku masukin gambarnya, Nan ^^
      Bukan menarik lagi, tapi keren sangat! Hahah, too many book, too little time...

      Hapus
  3. Saya baca buku ini bbrp tahun yg lalu, tertarik krn baca sinopsis dibelakang bukunya, ternyata setelah baca wooww beda bgt buku ini, ceritanya orisinil. Abis baca baru tau kalo ternyata ada filmya, random pula lagi liat2 di toko dvd, lgsg beli :) Very recommended deh buku nya.
    Oia, kayanya ada sequelnya ya judulnya Seeing, pengen bacaaa...
    Salam kenal yah ^__^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak terlalu orisinil sih, kak, karena hampir mirip The Plague-nya Albert Camus, tapi buku ini memang wow banget.

      Iya, ada sekuelnya, tapi aku lupa judulnya. Mungkin benar Seeing.

      Iya, salam kenal juga yak :D

      Hapus
  4. Replay-nya udah dibaca belum, Mas. Pengin baca reviewnya. Saya punya bukunya dan sedang bertengger di "Daftar Baca" tahun ini ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah dibatja tapi belum direview :))
      Batja saja, worth it banget lho :D

      Hapus

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!