Ibuk,
Penulis: Iwan Setyawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: VIII + 296 halaman
Genre: Realistic Fiction - Adventure - Semi Fiction
Stew score: Sweet!
Target: Teen (12 tahun ke atas!)
Sececap Ibuk,
Tinah, seorang perempuan belia yang karena jatuh sakit saat ujian akhir kelas 6, mesti mengubur impiannya untuk lulus sekolah.
Sim, seorang kenek angkot, denger-denger dia seorang playboy pasar yang berambut selalu klimis dan bersandal jepit. Dia sama seperti Tinah, tidak lulus sekolah juga. Bedanya, Tinah tak lulus SD, sementara Sim tak lulus SMP.
Mereka dipertemukan suatu pagi di Pasar Batu.
Mereka kemudian menikah dan menjadi Ibuk dan Bapak bagi kelima buah cinta mereka: 4 perempuan dan satu laki-laki. Yang laki-laki, namanya Bayek, merupakan yang paling manja diantara saudari-saudarinya.
Hidup yang semakin meriah, selalu ramai dan tak pernah sepi kecuali ketika kelima anak sedang terlelap (iyalah!), dan karena jarak usia anak-anak yang tak berpaut jauh, berdampak pada hidup yang penuh perjuangan. Angkot yang sering rusak, biaya pendidikan anak-anak yang besar, rumah mungil yang sering bocor di kala hujan—tak ada biaya untuk perbaikan karena uangnya difokuskan untuk pendidikan bagi anak-anak.
Inilah hal yang unik dari Ibuk: Apa pun yang terjadi, anak-anaknya tak boleh putus sekolah. Sesusah apa pun kondisi mereka, anak-anak tetap harus mengenyam pendidikan setinggi-tingginya!
Citarasa Ibuk,
Akhirnya rasa penasaranku akan gaya menulis Iwan Setyawan terpuaskan juga. Gaya penulisannya di Ibuk: cukup oke, cukup menghibur, cukup membuatku tak tertahan di satu halaman, suka mengintervensi kisahnya sendiri dengan memasukkan dirinya [sosoknya yang asli sebagai penulis] dalam buku [bukan hal buruk], suka menyelipkan kalimat motivasi atau inspiratif ditengah-tengah [bukan di dalam] adegan, dan tampaknya sangat suka sekali menggunakan kata "melankoli."
Di halaman-halaman awal, Iwan sering menggunakan banyak narasi. Tapi untunglah, narasinya tidak semembosankan On The Road-nya Jack Keroauc atau sebertele-tele Tunnels seriesnya Roderick Gordon and Brian Williams. Sehingga tak membuatku menghentikan proses pembacaan di tengah jalan.
Ibuk sendiri berkisah soal perempuan sederhana, yang tak bisa meraih impian sederhananya, yakni lulus sekolah, tapi bertekad agar semua anaknya tidak mengalami nasib yang sama seperti dirinya.
Sebenarnya, bagian Tinah atau Ibuk yang berhenti sekolah ini cukup membuatku penasaran. Beliau berhenti sekolah karena jatuh sakit bertepatan dengan [atau tepatnya menjelang] ujian kelulusan. Nah, yang buat aku penasaran, apakah dulu tidak ada ujian susulan? Atau kalau memang tidak ada, bila memang Tinah tekadnya kuat dan tak tergoyahkan, kenapa Tinah malah keluar sekolah dan bukannya mengulang lagi satu tahun? Apakah karena malu sehingga dia enggan mengulang?
Sayangnya, baik ujian susulan maupun mengulang satu tahun tak disinggung di sini. Mungkin karena di zaman Tinah, atau mungkin karena sistem pendidikannya kacau, tak ada dua hal tersebut. Atau bisa juga karena Tinah penurut, bahwa di zaman itu wanita tak masalah tak sekolah, maka dia pasrah dan setengah rela melepaskan impiannya.
Sosok Ibuk ini mudah disukai. Dia begitu sabar, begitu penuh kasih sayang, begitu banyak akal. Ya, banyak akal. Terutama dalam mengakali kebutuhan keluarganya. Bisa menyisihkan uang sedikit demi sedikit dari "uang setoran" suaminya. Bisa juga menunda keinginan anak-anaknya yang menggebu saat menginginkan sesuatu.
Oh ya, ada lagi yang bikin aku penasaran. Tapi aku agak sedikit lupa bagian ini. Bagian pengambilan rapor anak-anak. Ibuk mengambil sendiri seluruh rapor anak-anaknya, sebagai seseorang dengan sifat yang tak mau merepotkan orang lain. Yang aku lupa adalah, apakah saat itu ke-empat anak yang berusia sekolah bersekolah di jenjang yang sama. Sama-sama SMP? Ataukah si sulung sudah SMA dan si nomor 4 masih duduk di sekolah dasar? Dan yang menjadi pertanyaanku adalah, apakah jadwal pengambilan rapornya sama untuk tiga jenjang pendidikan?
Kalau setahuku sih, tidak. Seringnya yang jenjang SMA yang lebih dulu. Terlebih lagi bila itu tahun terakhir pendidikan.
Untuk tokoh kelima anaknya, yakni Isa, Nani, Bayek, Rini dan Mira... Kalian pasti menyukainya—kecuali mungkin Bayek yang kadang suka merajuk. Tidak pernah bertengkar. Suka membantu satu sama lain. Suka membantu orangtua tanpa diminta.
Aku tidak masalah dengan karakter mereka. Mungkin saja karena dibesarkan dengan full kasih sayang dan tanpa pernah ada kekerasan, bahkan tak pernah ada bentakan, mereka tumbuh jadi anak-anak seperti itu. Yang membuatku penasaran justru salah satu aksi membantu orangtua itu yakni, mengepel lantai.
Aksi mengepel lantai yang dilakukan setiap hari itu bikin aku penasaran, Apa disapu saja tidak cukup? Dan terbuat dari apa kira-kira lantai rumah yang oleh keluarga itu sendiri disebut sebagai rumah sederhana? Jelas tidak mungkin tanah, karena... Yah, masa tanah mau dipel? Mungkinkah rumah sederhana itu berlantai marmer? Atau keramik? Atau ubin?
Pertanyaan itu tak pernah terjawab, sebab ya, lantai rumah itu tak masuk dalam deskripsi.
Sekarang saatnya menyoroti Peyek Bayek [bahasa Jawa dari Bayi]. Dia memiliki kisah tersendiri. Tak seperti tokoh lainnya, mau pun saudari-saudarinya. Apakah karena Bayek ini sosok asli dengan nama beda sang penulis? Dugaanku, dan feelingku bilang, Bayek memang Iwan itu sendiri. Kisahnya sebenarnya sangat motivasional. Bagus. Dan membuat pembacanya membayangkan seandainya impiannya mewujud jadi nyata persis kayak Bayek. Seorang anak sopir angkot yang sukses, hijrah dari Kota Apel, Jakarta menjadi batu loncatan, lalu mengumpulkan kepingan mimpinya di The Big Apple. Tapi...
Ini menurutku ya. Kisah Bayek yang ada di The Big Apple aka New York City, Manhattan, USA, itu sudah keluar konteks dari perjuangan sang Ibuk. Seperti kisah lain atau kisah tambahan. Aku tahu, kesuksesan Bayek adalah buah manis di penghujung kesabaran Ibuk dalam berjuang. Tapi meski Bayek's story itu tidak ditulis detail, bagiku, tidak mengurangi nilai Ibuk, di mataku (atau benakku?)
Menurutku, kedetailan itu berefek ganda. Efek pertama, pembaca Ibuk, yang merasa kurang dengan kisah si Bayek, bisa melanjutkan membaca karyanya yang fenomenal, "9 Summers 10 Autums: Dari Kota Apel ke The Big Apple" yang sudah diadaptasi ke layar lebar [aku sendiri belum membaca buku itu dan menonton filmnya]. Kedua, kebalikannya, membuat pembaca tak berminat membaca karya fenomenal Iwan yang berhasil menyabet gelar sebagai Buku Fiksi Terbaik Ikapi DKI Jakarta Award tahun 2011 itu. Kenapa mesti beli kalau di Ibuk, ada versi ringkasnya?
Di akhir bab 46, ada kalimat "...memanggil-manggil nama..." yang harusnya menghadirkan semacam keterkejutan. Tapi hal pertama yang melintas di benakku justru bukan itu. Hal pertama yang melintas di benakku adalah, "Tidak sopan sekali si tokoh itu memanggil tokoh ini dengan nama."
Aku tahu bukan itu yang dimaksud Kak Iwan, tapi, mau gimana lagi, karena memang hal itulah yang pertama masuk di benakku. Dan jujur, aku tertawa menyadari kekonyolanku itu.
Untuk masalah teknis yang bermasalah, aku hanya menemukan satu typo saja. Yakni pada nama seseorang. Yang pada awalnya ditulis Dedi berubah jadi Dedy.
Untuk sampulnya, aku suka sekali dengan sampul [depan]-nya. Sampul dengan warna dasar cokelat keemasan (?) dan "dihiasi" coretan-coretan yang tumpang-tindih dan motif batik. Di pojok kiri bawah, ada gambar seorang wanita (Ibuk?) yang sedang menggoreng/memasak sesuatu dengan wajan teflon di atas kompor gas.
Oh ya, nyaris lupa. Mengenai status playboy Bapak. Aku tidak merasa beliau itu playboy, meski dia statusnya masih punya pacar saat pedekate ke Ibuk. Untuk ukuran playboy, dia tidak tampak suka tebar pesona. Pokoknya nggak ada image-image playboynya deh. Hal ini mungkin karena pendalaman karakter Bapak di awal atau sebelum kenal Ibuk kurang dieksplore. Sehingga image itu kayak semacam tempelan saja, bagiku.
Overall, Ibuk, karya yang lumayan. Mudah dinikmati, aku suka deskripsi Kota Batu-nya, aku juga suka penggambaran New York-nya, dan dalam beberapa hal kisahnya cukup memotivasi dan menginspirasiku [omong-omong, aku sangat tahu rasanya jadi Bayek ketika dia tidak ingin dan tidak mau meneruskan pekerjaan Bapaknya sebagai supir, sebab sama seperti Bayek, aku satu-satunya anak lelaki di keluargaku (juga anak tengah), dan Bapakku juga seorang supir]. Selain beberapa hal di atas, ada satu lagi yang masih membuatku penasaran, apa arti tanda koma di belakang Ibuk? Perhatikan deh judul di sampul dan di halaman (i) dan (iii), judul Ibuk ditulis dengan koma di belakangnya. Apa artinya? Dan apakah koma itu juga seharusnya dibaca?
Terlepas dari itu semua, bila kalian mencari bacaan ringan yang inspirasional dan penuh motivasi dan bertemakan soal cinta seorang ibu yang sepanjang masa pada anaknya, aku merekomendasikan Ibuk, karya Iwan Setyawan ini untuk kalian baca.
P.S.
[1] Terima kasih pada @9S10ATheMovie dan, tentu saja, kak Iwan Setyawan yang telah mengadakan kuis berhadiah buku Ibuk, ini di twitter. Dulu aku sempat mengira bakal dapat buku 9 Summers 10 Autumns, Dari Kota Apel ke The Big Apple ketika namaku dan sejumlah pemenang lain diumumkan sebagai pemenang buku ini, heheh.
[2] Hanya bertanya-tanya, karena Bayek belum menikah di kisahnya di Ibuk, ini, mungkinkah bakal ada sekuelnya di mana Bayek bertemu dengan cintanya dan kemudian menikah? Ah, hanya Kak Iwan dan Allah saja yang tahu jawaban untuk pertanyaan ini.
Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::
0 comments:
Posting Komentar