Antologi Cerpen Cerita Kota

Antologi Cerpen Cerita Kota

Penulis: Kota Cerita and Friends
Penerbit: Kota Cerita (Self-publishing via nulisbuku - tapi kini ebooknya bisa didownload di Goodreads)
Tebal: 104 halaman
Genre: Short Story antology (romance - realistic fiction - magic realism)
Stew score: Almost - Sugar free
Target pembatja: 14 tahun ke atas. Sebab hampir semuanya, hanya tiga yang tidak, bercerita soal cinta (dengan kekasih).

Icip-icip Antologi Cerpen Cerita Kota

Seorang fotografer ditugaskan di kota kecil yang muram, dan tak menyangka bisa melihat warna yang ajaib di langit, warna kedelapan.

Dua orang yang tinggal di dua kota, Jakarta - Semarang, masih belum yakin untuk menjalin kisah cinta jarak jauh. Mungkin penyebabnya, karena mitos yang berkembang di masyarakat.

Mampukah kerinduan seorang pemuda membuat seorang pengemudi kembali pulang?

Nama gadis itu adalah Aurora. Apakah dia secantik namanya? Mungkin. Tapi, apakah pemuda itu akan terus "maju" setelah tahu Aurora seorang lesbian?

Benarkah ibukota negara kita, Jakarta, merupakan kota yang Serba Ada?

Seorang pemuda selalu bingung ketika ditanya apa arti rumah baginya. Mungkin dia harus menatap (bintang) Orion sebelum menjawab.

Dia kembali, untuk menemui Cintanya yang Tertinggal di Solo, di kota kelahirannya, apakah dia akan bersatu dengan cintanya?

Seseorang hidup di Kota yang makmur, indah dan damai (menurut versinya). Benarkah ada kota seperti itu, atau mungkinkah hanya sebuah Kota Fatamorgana?

Apa maksud dari Kota Terbalik? Bukankah gravitasi telah membuat "ilusi" dimana bulat terasa datar?

Ingin tahu semua jawabannya? Atau tidak? Kenapa tidak kalau bukunya (ebook) ini telah bisa didownload gratis di Goodreads?

Citarasa Antologi Cerpen Cerita Kota

Warna Kedelapan
Pada awalnya, aku mengira tokoh utamanya adalah seorang wanita. Kenapa? Soalnya auranya sangat kuat sebagai seorang perempuan, ketimbang laki-laki.

Aku sebenarnya tidak terlalu masalah dengan penggunaan lokasi mana pun, apalagi buku-buku yang sering kubatja settingnya kalau nggak di dunia lain, dimensi lain, ya, di bumi di masa deepan. Awalnya aku tidak penasaran di mana letak kota Jerigen Bergen itu dimana. Tapi kalimat "jangan panggil aku paman" dan "aku belum setua itu" entah bagaimana, menurutku, mengindikasikan bahwa kota kecil yang sering mendung dan turun hujan--yang kayaknya nggak mungkin ada di negeri beriklim tropis--kota itu masih bagian dari Indonesia-ku tercinta.

Lalu ada satu kalimat yang juga menggelitik syarafku, "Sesejuk pagi." Diceritakan, si pemuda ini jarang bangun sepagi ini. Untuk ukuran zaman sekarang, pagi yang sejuk itu hanya sampai... Tidak sampai jam setengah tujuh. Pertanyaannya adalah, bagaimana dia tahu rasanya kesejukan pagi kalau jarang banget bangun pagi-pagi sekali? Anggap saja aku comel, tapi rasanya nggak afdol kalau kesanku pada bagian yang sejuk ini tak aku utarakan, heheh. Kecuali penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga, aku tidak akan meributkan bagian ini.

Ada lagi yang "gagal" disematkan ke dalam diri pemuda ini: keyakinannya. Dia gagal sebagai seorang atheis atau pun agnostik (dalam satu scene, si tokoh bilang dia tak percaya pada Tuhan, tapi di scene lain dia tak kuasa melawan takdir yang telah digariskan padanya). Yah, karakter plin-plan bukan jenis karakter kesukaanku.

Sebagai awalan, cerita pendek ini membosankan, mudah ditebak dan terlalu keju sekali.

Apalagi yang bagian permohonan anak kecil itu. Sebenarnya pengen banget aku kritisi bagian itu, tapi takut malah jadi spoiler.

Nilai plus cerpen ini dari kacamataku adalah penulis berhasil menggambarkan kondisi kota Bergen, entah lokasinya asli ada di dunia nyata atau tidak, dengan baik.

Jakarta - Semarang
Ketika menemukan Semarang disebut kota kecil, aku langsung bereaksi, "Semarang, kota kecil?" Semarang ibukota propinsi kali, bahkan lebih besar ketimbang ibukota propinsi lainnya, kecil darimana cobak?

Lalu ada kalimat, "mana ada yang mau menggunakan busway untuk keliling Jakarta?" Gimana kalau ada yang membalik kalimat si tokoh dengan, "Memang ada juga yg mau keliling Jakarta naik mobil pribadi? Nggak takut kejebak macet yang naujubileh?" :))

Selain itu, adalah masalah timeline. Aku bingung mana yang diposisikan masa lalu dan mana masa kini. Tapi mungkin masalah ini ada di akunya, kurang konsentrasi pas batjanya.

Terus, lagi-lagi ini karena aku comel, kenapa Michael, kenapa bukan Mike saja? Maksudku gini, agak janggal di kalimat percakapan Indonesia nama disebut lengkap? Coba batja kedua kalimat ini: "Kamu serius kan, Michael?" dan "Kamu serius kan, Mike?" Lebih enak mana? Lagipula, penggunaan nama panggilan itu lebih menunjukkan keakraban.

Cerita pendek yang lumayan-lah.

Rindumu Membawaku Kembali
Ini cerpen pertama di antologi ini yang aku batjanya pakai acara skip sampai ke ending.

Cerpen ini menggunakan orang-orang Korea, semua tokohnya, tapi menggunakan setting kota Jakarta.

Beberapa hal penyebabnya adalah:
a. Soal usia 17 tahun. Tahukah kenapa usia itu "dihebohkan" di Indonesia? Sebab seorang anak, ketika mencapai usia tersebut, telah resmi jadi dewasa dan secara hukum sah melakukan apa yang tidak boleh ketika mereka masih anak-anak. Tapi itu di Indonesia, beda lagi dengan di Amerika dan Inggris. Di sana usia 18 yang "disakralkan, bukan 17."

Aku tidak tahu soal budaya Korea Selatan, tapi aku benar-benar mencari tahu soal usia dewasa orang disana pada mereka yang Korea-holic dan menemukan bahwa usia dewasa mereka ketika mereka 20 tahun. Jadi, kenapa mesti menghebohkan usia 17?

Lagipula, bukannya animo masyarakat Kor-Sel daripada buang-buang duit buat pesta ulang tahun, anak-anak bahkan orangtua mereka lebih suka menghadiahi anaknya dengan operasi plastik bukan?

b. Shin Bi, karakter cewek utama, selain ratu drama banget, aku tak masalah dengan ini, tapi dia itu (maaf) dodol banget.

Kenapa dia bisa berpikir kakaknya meninggal karena kesalahannya? Aku membatja bagian adegan kecelakaan ini sampai beberapa kali, dan tetap nggak habis pikir kenapa dia berpikiran kayak gitu. Kecuali, dia yang ngasih miras ke si pengemudi yang mabuk, baru hal itu masuk akal.

Padahal, kalau menurutku nih, tanpa alasan menyalahkan diri sendiri, si Shin Bi ini bisa sedih banget sampai nggak bisa move on. Contohnya: ibunya Katniss dari The Hunger Games.

c. Cuaca dan keajaiban. Tiga hari tiga malam berdiri di bawah guyuran hujan? Hebat banget! Kok belum kena hipotermia ya? Hebat (lagi). Dia tidur nggak ya? Kok nggak lapar dan haus ya? Oh, pasti dia minum air hujan. Manusia kan masih bisa hidup tanpa makan selama dia bisa minum. Tapi air hujan zaman sekarang, apalagi di perkotaan, mengandung asam, well...

Untungnya, pakaian yang dikenakan si tokoh ajaib itu tidak dideskripsikan dari jenis bahan apa. Kalau menggunakan jeans bakal gawat, sebab bahan itu bahan yang susah kering.

Sekarang masalah cuaca. Jakarta diguyur hujan sampai 3 hari 3 malam tanpa berenti? Dengan kondisinya yang suka diterjang banjir jadi... Rasanya agak sulit dipercaya.

Aku nggak tahu soal kehujanan bisa sampai kena radang paru-paru. Aku juga belum mencaritahunya. Tapi aku tadinya sempat berharap si dokter bilang, "Ohh dia kelaparan. Lambungnya menciut soalnya tidak ada makanan yang masuk selama 3 hari 3 malam."

d. Khotbah paman Shin Bi pada Shin Bi. Kenapa baru berkhotbah sekarang, paman? Kenapa nggak dari dulu-dulu?

Lalu aku masuk adegan Shin Bi ngomong sama si tokoh cowok yang ujan-ujanan. Baru satu kalimat langsung dan aku langsung melompati cerpen ini dan mendapati ending cerpen ini tidak memuaskanku sama sekali.


Aurora
Bagaikan aurora yang terlukis di langit malam ini - jelas ini settingnya ada di negara-negara dekat kutub utara, bukan Indonesia.
Gaya penceritaan penulisnya agak membingungkan. Selain Raley, Veraldine juga ikut jadi narator-kah?

Mengangkat tema glbt, dikit banget, tapi kemudian dibelokkan lagi soalnya Raley itu (maaf) agak bodoh, nggak bisa tahu soal fakta si gadis. Cerpen kedua yang kulompati.


Serba Ada
Dibanding keempat cerpen sebelumnya, cerpen ini yang terbaik. Terbaik di sini soalnya aku bisa menikmati kisah ini tanpa alisku naik sebelah atau keduanya. Temanya tidak wow, tidak menawarkan kalimat yang spektakuler juga. Sederhana dan apa adanya. Tapi mungkin disitulah kekuatannya.

Tapi mana kisah cintanya? Tapi nggak apa-apa sih meski nggak ada. Itu artinya cerpen ini benar-benar sesuai judul antologi: Cerita Kota.

Orion
Aku mengabaikan soal kebiasaan si tokoh yang "malam-malam suka mendaki bukit."Semua tahu, pohon, atau tumbuhan, mengambil oksigen di malam hari. Manusia, di malam hari, tidak disarankan berada di bawah pohon sebab akan sesak napas, berlomba menghisap oksigen dari udara dengan pohon. Kenapa aku mengabaikannya? Sebab meski secara ilmiah tidak disarankan, ada banyak sekali orang yang tidak cepat sesak napas meski berada di udara yang sangat sedikit.

Yang bikin aku kaget adalah... aku kira tokohnya tadinya cewek, ternyata cowok! Aura perempuannya masih amat sangat terasa kuat. Pantas tadi berani menutup mata pas perjalanan dari Sby ke Mlg.

Dibanding cerpen Warna Delapan, yang ditulis oleh orang yang sama, aku lebih suka yang ini. Diksi dan bahasanya yang spektakuler terasa pas!

Ceritaku Tertinggal di Solo
Cerpen terbaik di antologi ini !!

Kisah cinta yang mengalir. Cuman ada satu yang nggak gitu aku suka, keresahan si Asti soal tetumbuhan di desanya. Itu kayak bukan kepedulian milik Asti, terasa kayak tempelan, tapi kayak jeritan penulisnya. Sebenarnya bukan hal jelek, tapi jadinya terkesan Asti hanya basa-basi doang peduli sama tetumbuhan yang tergerus zaman itu.

Kota Fatamorgana
Cerpen ini mengusung utopia versi penulis. Kenapa gitu? Soalnya terasa jelas sekali ini curhatan dia :))

Aku akan bikin daftar lagi, kayak cerpen nomor tiga, soalnya banyak hal yang tampaknya kurang riset.
a. Tegas bukan kekerasan. Mungkinkah bertindak keras (dalam hal ini artinya banyak, salah satunya tegas) pada anak-anak itu salah? Belum tentu. Dan kalau hal ini dijabarkan, akan jadi panjang sekali dan tak ada habis-habisnya.

Bagaimana kalau pertanyaannya dibalik, "Jadi, haruskah kita bertindak lembut pada anak-anak? Demi menciptakan anak-anak penerus bangsa yang baik?" Tentu saja jawabannya tidak. Lembut terus-terusan akan mencetak anak menjadi manja.

Lembut dan keras harus seimbang, bukan? Kalau timpang salah satunya, jelas akan berakibat buruk.

c. Penulis bilang, "Kota yg bagus itu kota yang banyak gedung pencakar langit." Hal ini membuatku sampai terkesima, kok bisa penulis menyimpulkan kayak gitu? Ada sebab kenapa di pedesaan udaranya lebih sejuk, kenapa? Sebab jarang ada, bahkan tidak ada sama sekali, gedung pencakar langit. Sebab gedung pencakar langit menyebabkan dua hal yang tak baik: a) sinar matahari terhalang olehnya sehingga tidak mencapai tanah b) bila dindingnya terbuat dari kaca, maka sinarnya akan terpantul kembali dan menyebabkan efek rumah kaca yang balik lagi ke global warming.

d. Soal es di kutub utara yg mencair. Dari dulu-dulu es itu sudah mencair. Kenapa nggak pakai kutub selatan aja? Es disana udah mulai cair juga lho. Pernah dulu es di sana mencair, dan tahu nggak seberapa besar ukurannya? Seluas negara Belgia!

d. Pemadaman listrik. Memang Indonesia sedang krisis energi, tapi hal ini dikarenakan masyarakatnya belum bisa move on dari BBM. Meski aku akui hal itu menyebalkan, pemadaman itu dilakukan agar seluruh wilayah Indonesia kebagian listrik.

Lalu, tahukah kamu soal Earth Hour yang mengajak masyarakat untuk memadamkan listrik selama 1 jam? Kenapa hal itu dilakukan? Kenapa dinamai Earth Hour?

Pemadaman di Earth Hour dilakukan untuk memberi kesempatan pada bumi untuk "bernapas." Bayangin kalo nggak ada pemadaman, lalu bumi kesulitan "bernapas", apa kira-kira yg akan terjadi? Sudah bisa bayangin, kan? ;)

e. Hukuman mati bagi koruptor. Kalau yang ini murni pendapatku, dan aku menghargai sudut pandang penulis yang setuju untuk menghukum mati koruptor. Aku lebih ke jangan hukum mati koruptor. Mati itu, menurutku, malah jadi cara pelariannya. Hukuman sosial jauh lebih berat ketimbang hukuman mati.

Cerpen ini yang paling mudah ditebak endingnya. Judulnya sudah mengindikasikannya. Meski aku akan merasa lebih pas kalau disebut Kota Impian dibanding fatamorgana--bila didefinisikan.

Kota Terbalik
Kelar membatja cerpen ini di benakku timbul banyak sekali percakapan:
a. Jadi siapa sang legenda?
b. Kenapa bagian 3 sampai 5 tidak diberi sub-judul?
c. Siapa yang membunuh si narapidana sekaligus yang memasang bom pada tubuh seseorang?
d. Kenapa yang jadi target kota Penumbra dan bukan kota yang lain?

Tapi yang terpenting dari semua pertanyaan:
e. Apa inti masalah di cerpen ini?

Sumpah. Aku gagal paham dengan apa yang hendak "dikatakan" oleh si penulis. Ketegangan yang terbangun oke, tapi tak ada sedikit pun penjelasan yang mengikutinya. Kecuali aparat negara, apa alasan dibalik si tokoh-tokoh melakukan tindakannya?

Cerpen yang kelihatannya "cukilan" dari (draft?) novel.
==============================================

Secara keseluruhan, hanya 3 cerpen yang bisa kukunyah tanpa ada yang mengganjal.

Buat semua penulis di antologi ini, maaf ya bila reviewku agak--bukan agak lagi sih tapi memang--pedas, heheh.

Saran buat semuanya, terus-lah menulis, terus, dan terus. Tapi jangan asal nulis, riset itu perlu. Bahkan untuk karya sesingkat cerpen. Dramatisasi memang jadi salah satu "nyawa" dalam pembuatan sebuah kisah, tapi jangan terlalu berlebihan yang jatuhnya jadi kayak sinetron. Sinetron nggak buruk sih, tapi saking dramatisnya, yang difungsikan untuk menarik emosi apa pun pada penontonnya, kadang adegannya jadi tidak masuk akal.


2 comments:

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!