Battle Royale
Penulis: Koushun Takami
Penerbit: Viz Media
Tahun terbit: 2003
Tahun terbit: 2003
Tebal: 338 halaman
Genre: Dystopia - Fiksi Ilmiah - Fantasi - Romance
Stew score: Almost - Delicious
Target: Young - Adult (16 tahun ke atas!)
Sececap Battle Royale
Pada awalnya, 42 siswa kelas 3-B SMP Shiroiwa hendak pergi study tour.
Pada awalnya, 42 siswa itu tertawa bersama, berbagi kebahagiaan bersama.
Pada awalnya, 42 siswa itu, meski tidak akrab, berteman satu sama lain.
Hingga... gas tidur, yang tidak diketahui siapa pun, tiba-tiba menyelimuti ke-42 siswa tersebut—beserta beberapa orang lainnya yang tidak mengetahui mengenai rencana pemerintah untuk mereka.
Study tour secara sepihak dibatalkan oleh pemerintah. Sebagai gantinya, ke-42 siswa itu dimasukkan ke dalam event yang biasa disebut dengan The Program—proyek semi-rahasia pemerintah. Mereka yang tak setuju dengan penggantian acara itu dilenyapkan langsung di tempat.
Jadi, apa sih sebenarnya The Program itu?
The Program ini, tampaknya event itu masih dalam tahap eksperimen karena tidak memiliki nama khusus, aturannya sederhana saja: a) mereka yang terdaftar, kalau masih mau hidup dan mau hidup enak hingga hari tua, harus membunuh semua temannya! b) Bila dalam jangka waktu 24 jam tak ada yang meninggal, maka semua peserta, berapa pun jumlahnya, dipastikan dijemput oleh kematian!
Ya, pada awalnya ke-42 siswa itu teman. Saling kenal satu sama lain. Tidak sedikit diantaranya malah bersahabat baik. Pepatah bilang, sesuatu yang memiliki awal selalu memiliki akhir. Ketika dihadapkan pada pilihan hidup dan mati, apakah mungkin hubungan yang awalnya baik, bahkan kental, akan berakhir dengan tangan masing-masing ternoda darah? Atau mungkinkah saking kuatnya hubungan pertemanan mereka, mereka tak saling membunuh dan bersama-sama menyongsong kematian?
Citarasa Battle Royale
Mungkin bila aku tidak membaca The Hunger Games, bisa jadi mungkin aku tidak tahu-menahu soal Battle Royale ini. Kata banyak orang, The Hunger Games mirip dengan novel bikinan penulis Jepang ini. Jelas aku penasaran, ingin mengetahui seberapa mirip kedua novel tersebut.
Dan setelah kelar membaca novel setebal 300-an halaman tersebut, aku akui, beberapa bagian memang mirip. Jadi jangan heran bila tulisan ini juga berisi perbandingan kedua novel tersebut.
Sejak sebelum membaca Battle Royale, dan diperkuat dengan lebih dulu menonton adaptasi filmnya (yang dilengkapi dengan peringatan: Hanya boleh ditonton oleh mereka yang sudah 14 tahun ke atas), aku tahu Battle Royale ini jauh lebih sadis dibanding The Hunger Games. Tapi yang tidak aku sangka adalah Battle Royale juga memiliki sisi emosional yang sama, bahkan kalau dihitung-hitung jauh lebih banyak dibandingkan, dengan The Hunger Games.
Kenapa aku bisa bilang gitu?
Bila di The Hunger Games, karena interaksi antar distrik dilarang, otomatis para peserta tidak mengenal satu sama lain. Ditambah lagi Katniss tidak terlalu akrab dengan peserta yang datang dari distrik yang sama dengannya. Nah, di Battle Royale, selain fakta jumlah pesertanya lebih banyak, belum lagi disorot nyaris semuanya, fakta bahwa mereka bersama-sama menimba ilmu di atap yang sama menjadikan mereka semua kenal satu sama lain. Ada yang sampai menjalin ikatan percintaan. Tidak sedikit pula yang berakhir dengan menjadi sahabat baik. Saling taksir-taksiran. Juga termasuk hubungan permusuhan.
Kebayang dong bagaimana dilemanya membunuh orang-orang yang merupakan teman kita, sahabat kita, bahkan kekasih kita? Tegakah kita menghabisi nyawa mereka demi agar kita tetap bisa menikmati segarnya oksigen mengaliri indera penciuman kita?
Perbedaan yang paling mencolok antara The Hunger Games dan Battle Royale adalah tujuannya. The Hunger Games adalah sebuah acara reality show yang disiarkan di TV di mana, semua orang mengetahuinya dan kadang diwajibkan untuk menontonnya, digunakan penguasa sebagai pengingat pada penduduk bahwa tidak ada gunanya melawan mereka yang memegang tampuk kekuasaan. Sementara di Battle Royale tidak ada tujuan khusus. Semua orang tahu, kebanyakan tak ambil peduli, soal The Program tapi yang jadi konsumsi publik hanya nama pemenangnya saja, selebihnya dirahasiakan.
Yang kedua, usia pesertanya. Bila di The Hunger Games peserta dari umur 12 sampai 16 tahun, di Battle Royale umur pesertanya setara: 14-15 tahun. Kemudian diikuti setting tempat dan waktu (The Hunger Games: Bumi di masa depan, tahun tidak diketahui, di suatu tempat yang tidak diketahui dan jauh dari pemukiman warga. Battle Royale: Bumi di semesta alternatif (Alternative-Universe) pada 1997, menggunakan pulau di mana terdapat pemukiman penduduk—jadi para peserta memiliki banyak keuntungan, salah satunya meretas jaringan keamanan yang memerangkap peserta dalam The Program).
Tokoh utama Battle Royale bernama Shuya Nanahara. Dia ciri cowok yang sama seperti Peeta: baik hati, suka menolong, populer. Saking populernya, dia ditaksir banyak sekali teman cewek sekelasnya. Karena novel ini menggunakan POV orang ke-3 serba tahu, maka jangan heran bila nama Shuya ini akan sering muncul di "benak" orang lain. Dan dalam taraf tertentu, "kemunculan"-nya itu sedikit mengganggu. Juga kesannya seolah-olah penulis takut tokoh utama novelnya tidak disukai oleh pembaca, sebab ketika Shuya sedang dalam sorotan dia itu... Well, hanya orang biasa yang banyak kekurangannya.
Karena menggunakan setting tahun 1997, peralatan yang digunakan bisa dibilang Battle Royale kalah canggih dibanding The Hunger Games.
Bila di THG setiap peserta di awal "pertarungan" memiliki kesempatan yang sama. Maka di Battle Royale tidak. Siapa yang keluar dahulu, dia mendapat kesempatan membunuh lebih dulu. Bila di THG ada kemungkinan peserta tidak mendapatkan ransel berisi berbagai barang, maka di Battle Royale semua peserta mendapatkan ransel dan selalu berisi makanan dan dua botol air dan satu gimmick yang berbeda-beda (bisa senjata seperti senapan, atau pisau, bisa juga peralatan yang sulit dibayangkan digunakan untuk membunuh: garpu [untuk makan]). Itu belum ditambah dengan barang bawaan mereka dari rumah.
Bila di THG mesti ada pemenang, maka di Battle Royale (menurut peraturannya) tidak mesti ada pemenang. Bila selama 24 jam tidak ada siswa yang mati, bisa dipastikan semua siswa bakal kehilangan nyawa.
Persamaan paling mencolok antara The Hunger Games dan Battle Royale, di mataku, adalah karakternya. Yang pertama, karakter Kazuo Kiriyama mengingatkanku pada Cato, yang membunuh banyak peserta dan menjadi musuh terberat bagi semua peserta termasuk tokoh utama. Kedua, tokoh Sho Tsukioka yang punya kesamaan dengan Foxface secara kemampuan dan strategi: menghindari pertarungan secara langsung tapi *beep* karena ketidaksengajaan.
Seperti yang aku bilang tadi, novel ini menggunakan sudut pandang orang ke-3 serba tahu. Otomatis kita akan disuguhi benak dan isi pikiran dan masa lalu banyak tokoh. Dari yang pikirannya baik seperti Shuya, dari yang pikirannya pintar, dari yang pikirannya dipenuhi oleh keburukan, dari yang setia kawan, dari yang ingin berkorban, termasuk dari yang pada dasarnya jahat dan ingin bersenang-senang. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ada tokoh yang sebagian orang akan menganggapnya tidak normal. Tapi di dunia yang gila seperti ini, mana ada sih orang yang normal?
Intinya, kita disuguhi banyak sekali sifat manusia.
Setelah membandingkannya dengan The Hunger Games, sekarang saatnya membandingkannya dengan adaptasi filmnya.
Tidak seperti novelnya, film Battle Royale tidak bertele-tele memperkenalkan para tokohnya satu-persatu. Jadi tak akan ada serangan bosan. Mungkin lebih ke dahi berkerut dan bertanya-tanya, "Ada apa? Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba gitu?" Semua adegan masa lalu juga tak diperlihatkan. Hanya masa lalu yang menarik yang mendapat porsi ditayangkan, seperti masa lalu Shuya Nanahara (tidak ada di novel), Mitsuko Souma dan Shogo Kawada (ada di novel). Malah ada satu kilas balik yang murni bikinan. Beberapa adegan pembunuhan, di mana hanya sepintas lalu dan peralatan atau gimmick mereka tak penting untuk tokoh lain yang punya peran penting, dihilangkan dan digantikan dengan adegan lain atau hanya ditampilkan sekilas, yakni saat kematian mereka yang mengerikan.
Hal yang lumrah, mengingat durasi film yang terbatas. Juga demi agar tidak menghabiskan banyak biaya.
Bila di novel Kazuo Kiriyama bukan siswa pindahan, maka di adaptasi filmnya dia menemani Shogo Kawada sebagai siswa pindahan. Aku curiga perubahan itu dilakukan untuk mengurangi dampak kengerian: salah satu perang paling berdarah adalah perang antar teman.
Hal berbeda paling mencolok antara novel dan adaptasi filmnya adalah, sama seperti perbedaannya dengan The Hunger Games, tujuannya. Di film dijelaskan, program pertarungan itu diadakan karena anak-anak di negeri tersebut pada nakal dan brutal. Acara itu diadakan untuk... *beep* *caritahu sendiri dengan menonton filmnya, heheh*
Selebihnya, semuanya nyaris sama.
Secara keseluruhan, aku tidak heran lagi kenapa Battle Royale wajib dibaca. Juga kenapa beberapa orang menuding Suzanne Collins melakukan plagiasi. Tidak bisa dipungkiri bahwa The Hunger Games dan Battle Royale memiliki banyak kesamaan. Tapi memiliki kesamaan bukan berarti karya tersebut plagiasi. Plagiasi terjadi ketika sebuah karya menjiplak sama persis. Sementara kedua karya tersebut selain punya kesamaan juga punya banyak perbedaan.
Sebelum mulai membaca novel Battle Royale, aku sempat mengira bakal menemui para tokohnya adalah anak-anak SMA, tapi ternyata mereka masih anak SMP. Tidak seperti THG, hingga sekarang aku masih sulit sekali percaya bahwa para peserta di Battle Royale ini yang kebanyakan masih berusia 14 tahunan. Tindak-tanduk mereka sudah seperti orang dewasa. 14 tahun dan punya banyak bakat? Dan itu tidak hanya satu orang saja. Banyak tokoh dikaruniai dengan banyak bakat. Memang, kemungkinan itu bisa saja terjadi. Tapi tak bisa dipungkiri di kepalaku melintas pemikiran seperti, "Nih bocah-bocah apa tidak pernah bersantai atau pergi main, ya?"
Bagi yang suka novel dengan tema kemanusiaan, sosial dan dystopia, Battle Royale mungkin akan jadi buku favorit kalian. Sebelum meninggalkan komentar, yuk kita tonton trailer film Battle Royale.
P.S.
[1] Sebelum memutuskan untuk memasukkan buku ini dalam daftar bacaan kalian, pastikan kalian sudah cukup (berpikiran) dewasa hingga cukup kuat saat membayangkan adegan berdarah-darah dan adegan dewasa yang diekspose secara eksplisit.
[2] Bagi yang tak suka membaca buku tebal atau membaca buku yang isinya teks doang, tapi kalian penasaran dan pengen mencicipi Battle Royale, kalian bisa mencoba edisi manga-nya. Dan dapat dipastikan, adegan-adegan berdarah akan dilukis dengan detail yang bakal membuat mereka yang tak punya perut kuat muntah-muntah.
[3] Terima kasih pada sobatku, Asti, yang telah memberiku buku ini :')
Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::
nggak ada covernya?
BalasHapusWah, iya, saya juga tahunya HG lebih dulu baru BR - dan terlepas dari "kemiripan" mereka, saya setuju kalau dalam beberapa hal BR ini lebih ngenes dan ngeri >< saya sendiri baru baca novelnya BR dan gak berani nonton filmnya, soalnya IMO bukunya cukup "vulgar" O Oa cringes buat tokoh Kazuo Kiriyama, *shivers* dan nice job for comparing BR the movie with the book, and comparing bR with THG >< Hanya berharap agar cerita seperti itu cukuplah ada dalam buku saja ><
BalasHapusKhairisa R. P
http://krprimawestri.blogspot.com
Baru nonton filmnya. Itu pun Battle Royale 2. Emang berdarah-darah.
BalasHapus>> Hanifah M.
BalasHapusTidak aku sertakan. Tapi kamu bisa mengintipnya di gudrit, heheh.
>> Khairisa
Makasih, heheh, soalnya aku tidak tahan tidak membandingkannya :p
>> Kang Opan
Saya malah belum nonton yang Battle Royale 2. Entah pengembangan seperti apa yang coba difilmkan tersebut.
Di Battle Royale 2, Shuya Nanahara mengumpulkan para pemenang The Program sebelum2nya dan membentuk kelompok pemberontak thdp pemerintah. Ironisnya, "pasukan" yang dikirim oleh pemerintah utk memerangi mereka adalah anak-anak SMP yg "dijebak" juga.
HapusBenar-benar pengembangan. Kira-kira dibikinin novelnya, atau manga-nya, nggak, ya?
HapusArghhhh sudah ada terjemahan novelnya ya? :O aku penggemar manga dan anime-nya nih >.<
BalasHapus>> Dweedy Ananta
BalasHapusNggak, Nan. Aku baca yang versi bahasa Inggris, heheh.
BR memang sadis banget, tapi karakterisasinya jauh lebih kompleks daripada THG (kalau kataku sih). Aku juga ngikutin film, novel, sama manga-nya tuh. Dan tetep suka ketiga-tiganya.
BalasHapusSaya suka Hunger Games, dan setelah baca beberapa review BR saya jadi terpukul...Entahlah setiap review battle royale selalu ada kata hunger games nya. Saya bener2 pengen baca bukunya, BR adalah novel yang saya liat sedikit mendapat celaan di goodreads.. Btw, bisa rekomend dimana saya bisa dapatkan novelnya?
BalasHapus>>Thoughtsofstupidbookworm
BalasHapusJauh lebih kompleks karena menyorot BR menyorot semua karakter :)) Tapi untunglah begitu, soalnya kalau yang disorot cuman si Nanahara, phew, dipastikan bakal bikin aku bosan setengah mati :)))
Aku kurang suka manganya, menurutku agak too much gambarnya :)))
>> Ika Putri Adnyani
Saya juga suka THG, malah salah satu buku favorit saya. Tapi kenapa terpukul? Ide cerita zaman sekarang memang sudah tidak ada yang baru lagi :))
Untuk yang terjemahan, itu agak susah dicari. Dan perlu dicatat, yang versi terjemahan ini yang diterbitkan di Indonesia adalah versi manga-nya, yang novel, setahuku, belum atau tidak. Jadi cara aman ya nyari yang terjemahan bahasa Inggris.
Saya lebih dulu kenal Battle Royale daripada THG, jadi ketika banyak orang bilang THG sadis, sy bilang itu ga ada apa2nya dibandingkan BR.
BalasHapusBtw, sy blm baca versi novelnya, baru nonton film sama baca manganya. (dan pas nonton filmnya selalu ketawa pas Takeshi Kitano muncul... kebayang2 Benteng Takeshi sih :))
Saya malah ngerasa THG nggak sadis-sadis amat saat pembacaan pertama kali. Hal ini disebabkan karena sudut pandang penceritaan THG terbatas pada Katniss, jadi, ya, nggak terlalu sadis ._.v
Hapussaya nggak ketawa sih, soalnya sejak mau nonton temen sudah memberi peringatan, jadi sudah bikin semacam "tameng" agar tidak membayangkan perannya Takeshi di Benteng yang bikin ngos-ngosan :)))