Uglies by Scott Westerfeld

Kalimat pertama Uglies
The early summer sky was the color of cat vomit.

Sececap Uglies

Beberapa bulan lagi, Tally Youngbloud akan berusia 16 tahun.

Beberapa bulan lagi, ia akan meninggalkan Kampung Jelek dan tinggal di Kota Rupawan Baru.

Beberapa bulan lagi, ia akan bersama-sama dengan Peris, sahabat baiknya.

Beberapa bulan lagi, ia yang Buruk-Rupa akan menjadi Rupawan (Pretties), seperti yang telah dijadwalkan. Jadwal yang menanti para Buruk-Rupa (Uglies) ketika menginjak usia 16 tahun.

Namun, tiba-tiba saja jadwal operasinya ditangguhkan. Special Circumtances, semacam petugas khusus yang menangani kasus-kasus langka, menginterupsi jadwalnya. Tally tidak akan menjadi Rupawan bila ia tidak membawa temannya, Shay, yang kabur untuk hidup di alam liar.

Sebagai teman yang baik, Tally seharusnya tidak mencari dan membawa "pulang" Shay. Tapi hidup sebagai Buruk-Rupa seumur hidup tak tertahankan bagi Tally.


Citarasa Uglies

Dystopia yang ditawarkan Scott Westerfeld ini terasa Utopia bagiku.

Gimana tidak? Semuanya telah diatur oleh pihak yang berwenang. Makanan, tempat tinggal, kebutuhan lainnya, diberikan secara gratis dan cuma-cuma, dan sesuai jadwal, dan... akan aku jelaskan di bawah.

Untuk urusan tempat tinggal, tiap usia dibagi jadi beberapa tempat yang dipisah-pisahkan. Saaat masih kecil, kita tinggal dengan orangtua kita. Beranjak remaja, sekitar umur 10-11 tahun, kita dipisahkan dengan orangtua kita dan dikumpulkan di Kampung Jelek (Uglyville) untuk bersekolah dan belajar apapun di sana. Setelah mencapai 16 tahun, "kejelekan" yang melekat di diri seseorang diangkat dan kita dipastikan jadi cantik/tampan, dan hidup dari pesta ke pesta atau sesuatu yang menyenangkan lainnya di Kota Rupawan Baru (New Pretty Town). Siapa yang akan menolak? Aku sih tidak. Bahkan meski kehilangan sedikit volume otakku. Dengan semua diatur dan tak perlu mikirin banyak hal, semisal tetek-bengek yang disebut dengan bertahan hidup, dengan dunia luar yang tidak memberi harapan, well... Aku rasa itu hanya kehilangan hal yang kecil.

Oke, aku sedang tidak waras hari ini. Banyak pikiran kelam yang menginvasi otakku, hahah.

Tapi, sebagian kecil diriku, masih berpikir bahwa dunia yang ditawarkan di Uglies ini masih utopia. Aku akan memberikan beberapa poinnya:

1. Semua kebutuhan untuk tiap individu sudah diatur. Dari tempat tinggal, makanan, dan kebutuhan lainnya, penduduk tinggal hidup dan bernapas dan menikmati fasilitas yang disediakan. Semua orang dari yang Buruk-Rupa sampai yang Rupawan punya fasilitas masing-masing, meski untuk yang Rupawan lebih banyak.

2. Hanya satu larangan berat: meninggalkan kota. Larangan yang lain biasa saja. Para Uglies biasanya melanggar banyak larangan, dan para Special Circumtances tahu, tapi tidak benar-benar mengambil tindakan karena sudah jadi rahasia umum bahwa semua Uglies melakukan banyak trik bahkan di jam-jam seharusnya mereka tidur. Dan Special Circumtances juga tahu, ketika mereka berubah jadi Rupawan, mereka (para mantan Uglies) akan hidup secara teratur.

3. Sejak kecil diajari mencintai alam. Mereka yang sejak kecil hidup di dalam kota, dan bukan alam liar, diajarkan untuk tidak merusak alam. Bahkan untuk menebang pohon saja mereka merasa itu perbuatan yang salah. Membuat api unggun dengan kayu sebagai 'bahan bakar'nya, baju dari kulit hewan mati, makanan dari hewan yang diburu, itu juga bukan hal yang mengenakkan dan merupakan perbuatan brutal bagi mereka yang hidup di dalam kota.

Aku rasa tiga poin di atas sudah menggambarkan sisi utopianya. Untuk sisi buruknya:

1. Sebelum 16 tahun, semua Buruk-Rupa merasa sangat rendah diri akut. Tapi mengapa? Toh saat telah menginjak usia tersebut, dan tak memiliki teman yang ingin kabur keluar, sudah pasti perasaan itu bakal hilang.

[SOP ILER ALERT!]
2. Kendati kehilangan sedikit volume otaknya ("efek samping" dari operasi untuk jadi Rupawan), tidak ada ingatan yang dihapus dan masih bisa bersenang-senang layaknya remaja pada umumnya. Mereka mungkin mengalami sedikit penurunan emosi, dimana tidak ada emosi yang meledak-ledak, tapi mereka yang Rupawan juga punya rasa empati dan peduli yang besar untuk temannya. Jadi penurunan otak ini lebih kayak kita disuntik dengan serum perdamaian. Menurutku lagi, penurunan ini mungkin untuk membuat para remaja tidak jadi tumbuh besar, tidak seperti yang dijanjikan operasi, tapi mempertahankan jiwa kekanak-kanakan mereka sedikit lebih lama, agar lebih mudah dikontrol.

Uglies memiliki kesamaan dengan Delirium-nya Lauren Oliver (kendati Uglies belum menyamai kesamaan world-building Delirium), tapi Uglies belum seekstrem Delirium dalam memperlakukan pelanggarnya. Atau setidaknya, di buku pertama ini belum diperlihatkan bagaimana siksaan bagi pelanggar batas baik yang ekstrem maupun yang tidak.

Di awal-awal, Uglies terasa berjalan lambat sekali. Agak sedikit membosankan. Tapi itu perlu, menurutku. Agar suasana daerah kotanya meresap dengan baik dan supaya ketika Tally keluar kota, perbandingan antara hidup di dalam kota dan di alam liar terasa semakin kuat. Bahwa hidup di kota seperti ini, hidup di alam liar seperti itu. Dan apakah hidup bebas tanpa aturan yang mengikat lebih baik daripada hidup di dalam kota dengan berbagai aturan yang mengekang.

Tidak banyak misteri dalam Uglies. Plotnya juga mudah ditebak dan tidak banyak kejutan. Petualangannya cukup oke. Persahabatan antara Tally dan Shay terasa cukup kental meski mereka baru beberapa kali bertemu. Namun tidak ada karakter yang menarik minat, karena... karakternya biasa-biasa saja. Tidak ada yang spesial. Dan aku suka dengan world buildingnya yang lebih terasa utopia dibanding dystopia.

Apa, kritik sosialnya?

Ya, ya. Selain identik dengan world-building, penguasa yang terlalu mengatur, dystopia selalu membawa kritik sosial. Dan di Uglies ini kritik yang diangkat adalah kerupawanan fisik. Tidak bisa dipungkiri bahwa fisik yang cantik atau tampan seringnya lebih dihargai dibanding yang biasa-biasa saja. Tidak pula dipungkiri terkadang fisik juga membantu dalam mendapatkannya sesuatu, semisal pekerjaan (dicari karyawan yang memiliki penampilan menarik?) Dan lewat Uglies ini pula, Scott Westerfeld juga melemparkan sesuatu yang kurang lebih meneriakkan, "Standar kecantikan bisa berubah kapan saja, tergantung zaman," yang kurang lebih sama dengan yang dibisikkan secara terselubung di The Hunger Games lewat penampilan para penduduk Capitol.

Secara keseluruhan, aku cukup menikmati petualangan Tally di Uglies. Novel ini juga beda dengan dsytopia populer lainnya karena tidak membawa pemberontakan yang ekstrem, hanya pemberontakan kecil yang tidak berimbas sama sekali pada sistem. Hal itu mungkin karena sang tokoh utama tidak punya banyak teman, teman yang punya akses ke pemerintah, jadi ya... masuk akalnya begitu. Tidak ada yang spesial dengan para tokohnya. Tidak juga tokoh yang jadi favorit banyak tokoh lain. Tapi endingnya benar-benar bikin penasaran dengan apa yang terjadi selanjutnya di buku kedua. Menggantung sekali soalnya.

Uglies

Penulis: Scott Westerfeld
Penerbit: Simon Pulse
Tahun terbit: 2005
Tebal: 425 halaman
Seri: Uglies #1
Genre: Dystopia - Science Fiction - Adventure - Romance
Score: Almost - Yummy (3,5 of 5 stars!)
Target: Young - Adult (15 tahun ke atas)

Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::

Kategori khusus: Series Addict!

https://perpuskecil.wordpress.com/2015/01/15/lucky-no-15-reading-challenge/
Kategori: One Word Only!


0 comments:

Posting Komentar

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!