Charlie and The Chocolate Factory by Roald Dahl

Charlie and The Chocolate Factory

Penulis: Roald Dahl
Penerbit: Puffin
Tebal: 271 halaman
Genre: Fantasi - Comedy - Classic - Children Literature
Stew score: Almost - Yummy!
Target: Teen (12 tahun ke atas) - anak-anak dibawah umur itu lebih baik didampingi atau kalau perlu orangtua mengemas kisah yang penuh makna ini dalam bentuk dongeng sebelum tidur

Sececap Charlie and The Chocolate Factory

Namanya Augustus Gloop, bocah gemuk yang sangat doyan makan.

Namanya Veruca Salt, gadis cilik yang dimanjakan oleh kedua orangtuanya.

Namanya Violet Beauregarde, gadis cilik yang mengunyah permen karet setiap hari, setiap saat--kecuali saat dia tidur.

Namanya Mike Teavee, bocah yang tak mau melakukan apa pun kecuali nonton TV.

Namanya Charlie Bucket, bocah kurang beruntung tapi bahagia yang tinggal bersama keluarga besarnya.


Adalah Willy Wonka, pemilik pabrik Coklat paling terkenal di dunia yang mengadakan semacam kontes bagi mereka, 5 orang saja, yang beruntung untuk tur keliling pabriknya yang misterius. Gimana tak misterius, tak ada manusia yang datang dan pergi, kecuali cokelat terlezat di seluruh dunia, dari dalam pabrik cokelat itu? Mustahil Mr. Wonka yang melakukannya sendiri.

Bagaimana tur mereka? Apa maksud dibalik undangan tersebut? Tak mungkin Mr. Wonka yang misterius dan biasanya tertutup itu hanya mengundang 5 anak kalau dia hanya ingin memamerkan keajaiban pabrik cokelatnya.

Citarasa Charlie and The Chocolate Factory

a) Buku
Karena bukunya singkat, jadi reviewnya singkat juga :p

#rasa_Manis
1. Lucuk! Roald Dahl menggunakan benda-benda sehari-hari untuk "bahan komedi"-nya. Uniknya, bila dikorelasikan ke dunia nyata, humor itu seolah-olah pertanyaan yang biasa dilontarkan oleh anak-anak.

Contoh: whipped cream.

Mr Wonka berkata, "How can you whip cream without whips? Whipped cream isn't whipped cream at all unless it's been whipped with whips."

Hingga sekarang, aku masih sering terbahak-bahak tiap kali ingat kalimat itu.

Dan maksudku mengenai korelasinya dengan dunia nyata adalah, anak-anak yang biasanya jiwa penasaran masih tinggi, pasti penasaran kenapa cream itu dinamakan seperti itu.

2. Rima lagu yang dinyanyikan oleh Oompa-Loompa sangat rapi.

#rasa_Asam
1. Tak memiliki klimaks. Saking konstannya, semuanya terasa datar.

Sederhana, lumayan, penuh daya imajinasi dan beberapa fakta masih aktual.

b) Film
Tentu saja, aku lebih dulu menikmati filmnya ketimbang bukunya. Apalagi visualisasinya oke banget, karakter Wonka-nya unik banget, pabrik cokelatnya ajaib banget, dan... ini yang nggak kalah penting, pesan moralnya mudah banget dimengerti, bahkan oleh anak-anak sekali pun.

Beberapa hal yang berbeda dengan buku:
1. Gerbang pintu pabrik membuka sendiri. Di buku, gerbang dibuka oleh Mr. Wonka.

2. Mike Teavee tak hanya digambarkan sebagai maniak TV, tapi juga berotak pintar (bisa nemuin tiket emas hanya dengan 1 kali beli, hebat kan? Tapi sayang dia tak cerdas), sementara di buku, Mike hanya anak yang cinta sekali dengan TV.

3. Nyanyian Oompa-Loompa melibatkan anak dan orang yang "disindir", di buku nyanyian ini berdengung setelah oknum yang kena sial meninggalkan tempat.

4. Para anak ditemani oleh satu orangtua. Di buku boleh dua. Kecuali Charlie, empat anak lainnya ditemani oleh kedua orangtuanya.

5. Ayah Willy Wonka. Tak ada karakter itu di bukunya.

Sebenarnya ada lagi, tapi namanya juga adaptasi, masa sama persis? Lagian, buku dan film dua media yang berbeda, bukan? Meski kadang "enak" juga mengomentarin keberbedaan mereka :p

Ada beberapa hal yang berhasil divisualisasikan oleh pembuat filmnya dari bukunya yang mungkin luput oleh beberapa orang--atau mungkin hanya bisa-bisanya aku saja dalam mengait-kaitkan:
1. Aura mengerikan bukunya. Di film ada "peringatan" bahwa film ini bukan film ceria. Ingat adegan penyambutan oleh Mr. Wonka yang ujung-ujungnya "kebakaran"?

2. Penulis aka Mr. Dahl tampaknya sangat benci dengan TV. Di buku, dia seolah "mem-bully" Mike. Nasib Mike juga yang paling parah dibandingkan 3 anak lainnya.

3. Dokter gigi. Di buku memang tak ada dokter gigi, tapi ada perusahaan pasta gigi, tempat ayah Charlie bekerja, yang seolah disinggung sepintas lalu. Kehadiran dokter gigi yang "melibatkan emosi" jelas akan berkesan, dan secara tak langsung mengingatkan penonton agar tak melupakan kesehatan gigi, senikmat apa pun cokelat itu.

Overall, baik film mau pun buku, keduanya sama-sama keren. Untuk klimaks dan ending, mungkin lebih bagus di film. Endingnya lebih happy, dan klimaksnya terasa nendang berkat bantuan scoring.

P.S.
Charlie and The Chocolate Factory adalah karya Roald Dahl pertama yang aku batja.

Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::
| | | | |

4 comments:

  1. One of my fave books! Tapi setuju deh, buku2nya Roald Dahl emang rada "bahaya" kalo dibaca sama anak kecil. at least harus didampingi sama ortunya lah, hehehe...

    BalasHapus
  2. Saya baru batja buku yang ini dan sekuelnya, apakah buku lainnya seperti Matilda juga bahaya, kak? :O

    BalasHapus
  3. Ah salah satu kesukaanku, Roald Dahl emang 'gila' dalam penulisan kisah anak-anak yang 'usil' serta tidak pernah kehabisan akal.
    Kelanjutannya cukup menarik tapi aq lebih suka yang ini.
    Dan Matilda posisi no.! dari karya beliau yang kusukai.
    Lainnya yang lumayan 'seram' The Witches ...dulu nonton filmnya waktu kecil sampai ketakutan deh :D

    BalasHapus
  4. kelanjutannya unik, tapi memang lebih bagus yang ini, heheh.
    Wah, dulu saya, saat masih ketjil, pernah nonton Matilda, tapi belum benar-benar ngeh sama ceritanya :p

    BalasHapus

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!