Anak Rembulan by Djokolelono

Anak Rembulan

Penulis: Djokolelono
Penerbit: Mizan Fantasi
Tebal: 350 halaman
Genre: Fantasi - Supernatural - Fiksi Sejarah - Mitologi - Indonesian Literature
Stew Score: Sweet!
Target: Teen (10 tahun ke atas!)

Sececap Anak Rembulan

Saat berlibur ke rumah kakek dan neneknya di Wlingi, dan saat bermain di sungai Njari, entah bagaimana Nono bisa sampai ke tempat asing. Tempat itu nyaris sama dengan tempatnya tadi bermain, tapi dalam sekejab mata semuanya berubah! Bahkan entah bagaimana juga dia tiba-tiba berada di tempat itu kala orang-orang Belanda (katakanlah) masih baru menginjakkan kaki di tanah Jawa—singkatnya, Nono terlempar ke masa lalu!

Itu baru permulaan. Banyak kejadian ajaib dan aneh yang kemudian dialami Nono. Dari menyaksikan orang-orang berubah bentuk jadi binatang, terperangkap dan menjadi jongos di warung makan dan tak pernah bisa melarikan diri, mendapat julukan Anak Rembulan (mungkinkah julukan untuk anak dari masa depan?), membuat strategi perang, hingga dijatuhi hukuman mati!

Apa yang terjadi pada Nono selanjutnya? Mungkinkah dia bisa kembali ke Wlingi di masa di mana dia seharusnya berada?

Citarasa Anak Rembulan

Meski jumlahnya 300-an halaman, tidak butuh waktu lama—malahan tidak sampai 24 jam—bagiku untuk menyelesaikan Anak Rembulan karya Djokolelono ini.

Kekuatan utama novel ini, yang menawanku tak bisa berhenti melahapnya hingga habis adalah gaya bercerita sang penulis.

Sebelum aku membeberkan rasa manis Anak Rembulan, izinkan aku membahas rasa asamnya (versiku tentu saja) terlebih dahulu.

Aku awali dari bagian luar. Cover dan kilasan (baca: blurb). Covernya sebenarnya bagus, tapi gambar anak lelakinya... meski kaosnya menggambarkan ciri khas Nono tapi ekspresinya... Sangat menyeramkan dan jahat. Padahal Nono tak seperti itu. Dan wajah anak dalam cover tak seperti orang jawa.

Kemudian kilasan. Bagus, tapi salah kaprah. Tidak sesuai isi. Seolah-olah yang membuat kilasan ini tidak membaca keseluruhan buku. Sama salahnya dengan tagline di bawah tulisan judul di cover depan.

Masuk ke dalam. Bagian ilustrasi. Ilustrasi di dalam oke, keren banget malah. Tapi sama halnya dalam kasus ilustrasi di buku Percy Jackson, kebanyakan ilustrasi tak menggambarkan adegan secara pas. Yang paling fatal adalah gambar 4 dan gambar 7.

Lanjut ke cerita. Proses masuk ke ranah fantasinya agak kurang mulus. Terasa tiba-tiba. Tiba-tiba kesini, tiba-tiba kesitu. Membuatku mesti membaca berulang kali sebelum ngeh setting telah berubah.

Sangat kontras dengan proses baliknya Nono. Sama-sama datang tiba-tiba tapi terasa jauh lebih mulus. Tapi tampaknya (entah ini benar atau hanya aku saja yang menduga demikian) penulis mengambil resiko pada adegan kembalinya Nono ini. Bagiku, efek adegan tersebut nyaris kayak ftv religi yang ujung-ujungnya penjahatnya bukannya sadar tapi malah mentalnya terganggu.

Ada satu kata dalam bahasa Jawa: dandang. Sangat aneh dan cukup mengejutkan Nono tidak mengetahui dandang itu apa. Dia itu kan biasa membantu di warungnya mbah Mas, neneknya. Kecuali... Dandang di situ punya arti bukan peralatan dapur. Dan kalau itu maksudnya, sayang sekali tak disertakan terjemahannya.

Ada satu adegan yang membuatku bertanya-tanya. Yang pertama, kemunculan salah satu tokoh jahat di perut bumi. Kenapa munculnya baru saat itu? Kenapa tidak di saat lain? Apakah "sengaja" dimunculkan supaya membantu pihak yang terpojok?

Aku juga merasa Om Djokolelono, atau penulis, agak takut atau cemas pembacanya tak mengerti apa yang hendak diutarakannya. Kesimpulan ini aku ambil dari beberapa kalimat dan penjelasan yang diulang beberapa kali meski penjelasannya itu sudah sempat dibahas di halaman sebelumnya. Atau memang begitu gaya penulisan beliau? Atau mungkin mengikuti pemahaman Nono yang masih kelas 5 SD? Tapi bukankah dalam beberapa adegan, Nono bersikap seperti umurnya telah menginjak remaja?

Saat membaca Anak Rembulan ini, beberapa adegan sempat buat aku teringat pada Alice yang "dolan" ke Wonderland. Meski sebenarnya bukan lubang, lebih tepatnya terowongan, di bawah pohon, tetap saja pikiran itu sempat menyelinap di benakku. Belum lagi penyebutan Setan Merah yang agak mirip dengan Red Queen, yang kebetulan keduanya doyan mancung kepala orang.

Seperti yang sudah aku singgung sebelumnya: aku suka pada gaya bercerita penulis yang mengalir dan nikmat untuk dienaki (eh, kebalik nggak ya?). Tapi hanya itu sajakah yang membuat aku "ngebet" pengen cepat kelarin novel fantasi asli Indonesia ini? Tentu saja, ada unsur lainnya. Kenapa hal yang sudah jelas mesti kalian tanyakan?

Hello... Siapa coba yang nanya, Jun? Orang dirimu yang ngelempar pertanyaan sendiri—dan menjawabnya sendiri (-_-")

Penasaran apa saja unsur itu?

Kagak! Ntar dikira ngepoin dirimu lagi. Males bang-ngeeet...


Yang pertama adalah, karena settingnya terasa sangat Indonesia sekali. Apalagi penjabaran penulis tentang warungnya.

Yang kedua, adegan saat Nono sebelum dan setelah mendapatkan title Anak Rembulan-nya. Adegan saat dia terperangkap di warung makan Mbok Rimbi. Menurutku, ini merupakan adegan terbaik dalam novel ini.

Yang ketiga... Masih ingat dengan kata-kataku di atas soal ftv religi? Nah, meski penulis mengambil resiko dengan... Melakukan hal yang mungkin tak disukai pembaca, dia menebusnya dengan detail-detail yang paralel dengan apa-apa yang, seru, ajaib dan bikin tegang (?), dialami Nono. Membuatku jadi kepengen mengunjungi Wlingi dan sungai Njari.

Yang keempat, mbah Pur dan... Saarce! Tak perlu aku jelasin kenapa :))

Overall, Anak Rembulan menurutku cukup keren. Tidak sekeren seperti yang aku harapkan memang—apalagi pas bagian masuknya Nono ke zona fantasi yang tak semulus paha Cherrybelle #eh. Gara-gara itu aku sempat tersendat saat membacanya. Salah satu hal keren lainnya adalah karakter Saarce, yang menyita perhatian dan kutunggu-tunggu kemunculannya—dia cewek Belanda, btw, dan dia punya... Ah, kharisma. Namun, meski begitu, saat aku menutup halaman terakhir Anak Rembulan—halaman yang menampilkan gambar 5 cover buku seri How To Train Your Dragon—menyisakan dua hal yang masih bikin aku penasaran. Yang pertama, kenapa buku ini diberi judul Anak Rembulan ya? Judul yang bagus sih, dan nggak keluar konteks, tapi... Menurutku saja nih, judul itu tidak cocok. Mungkin jawabannya, karena kalau pakai judul nama tokoh utama, nama Nono itu kurang... Sesuatu. Pertanyaan kedua, berapa usia ayah Trimo? Aku tahu dia tua sekali, tapi aku tetap penasaran jumlah tepatnya secara Trimo itu seusia, tentu saja, salah satu tokoh di Anak Rembulan.

P.S.
[1] Thanks to Ryana as Roro, karena berkat giveaway yang diadakannya, aku berkesempatan membaca salah satu buku fantasi keren asli Indonesia.

[2] Denger-denger, Anak Rembulan akan mempunyai prekuel! Jadi itu artinya, buku ini bukan buku standalone! >.<

Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::
| |

3 comments:

  1. Uwooo sepertinya bagussss :O secara buku fantasi ku terjemahan semua ._. Kecuali Nibiru :p

    BalasHapus
  2. Iya, bagus, Nan. Nibiru mah kalah :)))

    BalasHapus
  3. Settingnya jaman dulu ya?
    Pengen baca >.<

    BalasHapus

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!