[Book to Movie] The Road

Sebelum kalian membaca lebih lanjut, aku memperingatkan kalian bahwa posting ini berlimpah sop iler. Alasannya aku taruh di bagian bawah post, jadi sekalian kalian melompat ke bawah (bila tak ingin menikmati sop iler) dan meninggalkan komentar apa saja, termasuk komentar standar fast-read: "Nice post!" =))

The Road adalah film yang diadaptasi dari sebuah novel berjudul sama karya penulis Amerika, Cormac McCarthy. Jujur aku belum baca bukunya, bukunya sempat jadi wishlistku, jadi aku tidak bisa membandingkannya. Tapi mengingat bukunya tak terlalu tebal, aku rasa tak banyak perubahan atau penambahan yang terjadi di film.


The Road berkisah mengenai perjalanan seorang lelaki dan anaknya menuju selatan. Karena tidak memiliki nama, atau tidak diberi nama oleh sang penulisnya (aku tahu hal ini dari membaca review bukunya), dan untuk mempermudah, kita sebut saja Papa dan Boy. Kenapa mereka hendak ke selatan? Aku sendiri tidak tahu. Sepertinya hal itu tidak dijelaskan secara pasti. Juga tampaknya tak terlalu penting lagi mengingat kondisi sekitar mereka.

Ada apa dengan kondisi sekitar mereka?

Jangan tanyakan setting waktu yang digunakan di The Road. Waktunya tidak diketahui. Yang jelas, kejadian di dalamnya bersetting di saat Bumi setelah mengalami sebuah bencana mahadahsyat yang membuat semua tumbuhan mati. Dan melihat kondisi langitnya, tampaknya sinar matahari terhalangi, tidak sampai mencapai tanah. Dengan matinya tumbuhan, otomatis manusia yang selamat dari bencana hanya bisa mengandalkan makanan yang tersisa. Hewan pun hanya tinggal serangga yang bertahan—entah mereka hilang karena dampak bencana atau mungkin sebab lain seperti, well, diubah jadi makanan. Makanan yang tak bisa diperbaharui lagi. Namun bagaimana saat makanan itu habis?

Tentu saja terjadi, hal yang bisa ditebak, kanibalisme.

Bagi mereka yang bertahan hidup, saat itu adalah saat yang berat. Manusia terbagi jadi dua, yang berburu dan diburu.


Dalam perjalanan ke selatan, Papa dan Boy nyaris ditemukan oleh dua kelompok kanibal.

Kanibal pertama bermarkas di rumah besar yang tampaknya tak terkena dampak bencana. Rumah itu tampak bagus dan bersih. Pada awal Papa dan Boy menemukannya, sebelum mereka tahu itu markas para kanibal, mereka mencoba mengais makanan. Siapa tahu ada makanan yang tersisa. Saat mengobrak-abrik dapur, Papa tak sengaja menemukan pintu jebakan (atau pintu yang mengarah ke ruang bawah tanah) yang terkunci.

Kata Papa, "Pasti ada sebab kenapa pintu itu dikunci."

Dia benar. Memang ada sebabnya. Pada awalnya aku menebak tempat itu tempat penyimpanan makanan. Ditambah lagi temanku nonton, yang sudah nonton The Road duluan, bilang, "Kamu akan terkejut."

Aku tidak salah. Pintu terkunci itu mengarahkan mereka pada ruang penyimpanan makanan. Tapi bukan makanan yang aku bayangkan. Makanan ini... Tidak berbungkus. Dan tidak utuh. Diambil sedikit agar bagian yang lain tidak membusuk. Makanan-makanan itu berteriak minta tolong saat melihat Papa dan Boy. Ya, ruangan itu ruangan berisi penuh manusia yang akan menjadi korban kanibalisme!

Temanku salah. Aku tidak terkejut. Aku shock! Malah saking shocknya aku jadi tak bisa menghentikan tanganku dari memasukkan popcorn ke dalam mulut.

Udara yang awalnya panas dan gerah, mendadak dingin di sekitarku.

Aku sudah biasa menonton film yang didalamnya terdapat kanibelisme. Malahan di film-film yang sudah pernah kutonton itu mempertontonkan adegan seolah-olah mereka makan daging korbannya. Di The Road tak ada adegan makan daging itu, tapi entah kenapa membuatku jauh lebih ngeri. Apalagi adegan "ruang penyimpanan" itu.

Adegan nyaris bertemu yang kedua kurang lebih mirip seperti film-film kanibalisme pada umumnya. Para kanibal mengejar-ngejar korban. Korban yang dikejar ini (tampaknya) seorang ibu dan anaknya. Harusnya ini biasa, dan masuk dalam script, aku tahu. Tapi aku yang terhanyut dalam gelegak emosi cukup menyayangkan kenapa ibu dan anak itu berhenti berlari. Para pengejarnya (tampaknya) tak memiliki senjata yang bisa menyasar dari jarak jauh.

Saat adegan tersebut, teman nontonku nyeletuk, "Kok tidak diperkosa dulu ya?"

Jawabannya mudah. Aku bahkan tak perlu berpikir lama, "Urusan perut mengalahkan syahwat."

Apakah hanya itu yang mereka temui sepanjang perjalanan?

Tentu saja tidak hanya itu. Setelah bertemu dengan kelompok kanibal pertama, Papa dan Boy sempat bertemu dengan lelaki tua. Lelaki tua berusia 90 tahun. Lelaki ini sempat membuat heran Papa sebab lelaki ini berada di kawasan kelompok kanibal, tapi kenapa kok masih hidup? Dia lemah dan tak berdaya, dan langsung menyerahkan semua yang dia punya bahkan sebelum Papa dan Boy mengucapkan sesuatu saat menghampirinya.

Papa yang ingin anaknya hidup lebih lama, memintanya pergi pada akhirnya.

Mereka sempat menemukan air terjun dan ruang penyimpanan makanan yang benar-benar makanan. Bagian ini adalah bagian "terlega" di mana aku tak merasa cemas pada si Boy. Gimana ya? Meski Papa overprotektif dan alasannya (untuk kondisi alam dan waktu seperti di film) bisa dibilang sangat masuk akal, entah bagaimana Boy ini tetap bersikap baik dan jarang curiga pada orang lain.

Untunglah endingnya cukup bagus. Aku sangat bersyukur endingnya seperti itu. Tidak terlalu happy, tapi cukup oke.

Biasanya, adaptasi film adalah versi "ringan" dari buku. Bila versi ringan saja sudah, well, bikin aku shock selama beberapa jam, aku rasa aku akan menskip buku ini dalam daftar wishlistku. Maksudku, The Road edisi terjemahan sudah sangat susah dicari. Aku tidak berniat membaca edisi bahasa asli. Tapi bila aku dapat pertanda, dan memang berjodoh dengan buku ini, maka ya tanpa pikir panjang aku akan menyambarnya. Meski mungkin aku akan shock lagi dengan materinya yang mungkin lebih berat. Meski mungkin aku akan membenci endingnya yang mungkin akan bikin sedikit depresi kayak The Great Gatsby.

0 comments:

Posting Komentar

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!