Seeds of Rebellion
Penulis: Brandon Mull
Penerbit: Aladdin
Tahun terbit: 2012
Tahun terbit: 2012
Tebal: 512 halaman
Seri: Beyonders #2
Genre: Fantasi - Adventure
Stew score: Sweet!
Target: Middle Grade (11 tahun ke atas!)
Kalimat Pertama Seeds of Rebellion
The Prince entered the room.
Sececap Seeds of Rebellion
Jason itu sungguh sulit dipercaya. Saat dia baru datang di Lyrian, dia getol banget pengen balik ke Beyond (dunia kita). Tapi giliran dia sudah di Beyond, seperti yang diinginkannya, dia malah pengen balik ke Lyrian.
Kenapa dia pengen balik ke Lyrian? Mungkinkah karena dia telah jatuh cinta pada negeri ajaib Lyrian? Mungkinkah karena dia telah terpikat oleh kecantikan Corinne, sehingga dia ingin kembali ke sana dan menemui gadis itu?
Jawaban tepatnya adalah karena dia pengen merasakan lagi nikmatnya ditelan kudanil mengetahui informasi mahapenting yang harus segera dibagikan pada mereka yang melawan sang Emperor jahat, Maldor. Belum lagi, Rachel, rekannya sesama Beyonder, juga masih berada di Lyrian.
Sementara Jason berusaha kembali ke Lyrian dengan "menurunkan harga dirinya," yakni menyodorkan dirinya pada kudanil berharap diapa-apain (?), Rachel menemukan dirinya memiliki bakat alami melantunkan bahasa kalbu sihir.
Apakah Jason berhasil kembali ke Lyrian?
Tentu saja. Tapi baru juga sampai, dia sudah dikejar-kejar oleh "agen" berbahaya sang Emperor.
Apakah Rachel akan bisa menguasai sihir? Bagaimana dia belajar secara bahasa sihir dilarang? Mungkinkah dia akan belajar pada Maldor dan menjadi muridnya?
Hnn, itu mungkin saja. Untuk mencaritahu jawabannya hanya satu yang bisa kalian lakukan: baca Seeds of Rebellion xP
Citarasa Seeds of Rebellion
Coba tebak hal pertama apa yang melintas di benakku setelah aku menyelesaikan Seeds of Rebellion ini?
Novel ini Fantastis? Salah. Kalau fantastis tentunya aku akan memberinya score Delicious. Novel ini kadar humornya berkurang? Ya, itu benar. Mulai dari Seeds of Rebellion ini kisah (bukan cinta tapi petualangan) Jason dan Rachel mulai menunjukkan keseriusan.
Lho, lho, lho... Emang yang di A World without Heroes kisahnya nggak ada serius-seriusannya?
Ya, nggak gitu juga keles (-_-")7 pokoknya dibanding prekuelnya, Seeds of Rebellion ini lebih serius.
Jadi, apa yang terlintas pertama dibenakku? Jawabannya tiga kata saja: endingnya menyelamatkan semuanya!
Sebenarnya, Seeds of Rebellion punya awalan yang oke. Awalan yang kurang lebih seperti pengulangan. Meski tidak menimbulkan efek dahsyat yang sama seperti prekuelnya, tapi masih cukup okelah. Tapi saat Jason mesti berpisah jalan dengan... Salah satu karakter, alisku mulai terangkat. Kenapa mesti berpisah? Alasannya, okelah, tapi tidak terasa kuat. Tapi aku akan membahasnya lebih jauh nanti.
Bagi penggemar Beyonders series, yang mungkin jauh lebih suka Seeds of Rebellion dibanding prekuelnya yang "terlalu mudah", mungkin kalian tak akan percaya kalau bagiku buku ini terasa membosankan sekali. Semakin ke tengah semakin aku harus memaksa diriku untuk terus lanjut. Aku terus-terusan mengingatkan diriku bahwa aku telah memiliki tiga buku serial ini, rasanya sayang sekali tidak membaca sampai ending di buku ketiga.
Dua hal yang bikin aku bosan: (a) Dialognya panjang-panjang. Kayak orang ceramah. Okelah kalau satu-dua, tapi ini... Panjang banget dan berputar-putar. Tidak bisakah para tokoh ini mengucapkan kalimat yang tak terlalu panjang yang efektif? (b) Masih soal panjang (?) dan berputar-putar, namun kali ini soal perjalanan Jason cs. Bagiku rute perjalanan mereka itu terlalu panjang. Memang di bawah peta dikasih penjelasan bahwa peta digambar tanpa memperhatikan skala sebenarnya, tapi tetap saja rute yang dipilih terlalu panjang. Sama seperti kasus Jason yang mesti berpisah dengan temannya, seolah-olah ada unsur "kesengajaan" untuk memperkenalkan beberapa makhluk dan lokasi di Lyrian.
Intinya: Seeds of Rebellion ini kesannya kayak ada campur tangan Mak Erot dipanjang-panjangkan. Kecuali bagian humornya, yang kayak tanya-jawab, tidak seperti A World without Heroes yang lurus ke tujuan. Padahal kalau mau, dan dilihat dari peta Lyrian juga, ada rute yang lebih pendek dengan memutari sisi di seberangnya. Kalau soal alasannya demi menghindari mata Maldor... Ah, bagiku ini alasan yang tak guna dan naif. Di buku pertama saja, Maldor tahu segala hal. Kenapa di sini, mereka kira, tidak?
Tapi, seperti yang aku bilang, endingnya menyelamatkan segalanya. Meski tak sebagus ending prekuelnya, ending Seeds of Rebellion lumayan bagus. Menjamin pembacanya penasaran dengan kelanjutan kisahnya di Chasing The Prophecy.
Kalian mungkin penasaran kenapa judul buku ketiganya ada kata ramalannya. Atau tidak. Tapi karena aku sedikit nakal, rawr (?), maka aku kasih sedikit bocoran mengenai ending Seeds of Rebellion. Endingnya berupa ramalan. Ramalan tiap tokoh. Tiap tokoh, tapi hanya dua ramalan saja yang ditampilkan: Ramalan untuk Jason dan Rachel.
Kecuali kamu membaca edisi hardback atau edisi khusus lainnya yang mana terdapat bonus adegan. Kebetulan aku dapat bonus adegan itu, dan mendapat tiga ramalan ekstra dari tiga tokoh penting lainnya.
Omong-omong soal makhluk di Lyrian, Seeds of Rebellion memperkenalkan tiga makhluk unik baru: Raksasa, drinlings dan lurker/torivor. Raksasa di Lyrian agak berbeda dengan raksasa pada umumnya. Di Lyrian, raksasa mempunyai tubuh besarnya dibatasi oleh waktu. Sementara drinlings adalah manusia yang memiliki sistem imun luar biasa. Racun apapun tidak akan mempan ditujukan pada mereka. Penyakit tidak pernah hinggap di tubuh mereka. Mereka tidak kenal lelah, tidak butuh tidur dan doyan (makan dan minum) segala hal, termasuk tanah dan air laut. Kelemahan mereka adalah... silakan cari tahu sendiri xD
Untuk lurker atau torivor... Mereka tampaknya spesial ya, sampai memiliki tiga nama sebutan. Tiga? Oh ya, aku baru nyebut dua. Satu sebutannya yang lain adalah darklings. Dari namanya yang ketiga sudah kelihatan sekali dia bentuknya seperti apa. Yap, gelap.
Sebenarnya ada satu makhluk lagi. Makhluk yang biasanya dari ranah fiksi ilmiah, yang biasa muncul karena virus, yang kemudian bikin mereka yang terinfeksi menjadi kanibal. Bagiku makhluk ini tak terlalu menarik. Penjelasan penulis soal awal mula mereka, yang menggunakan sihir, sebenarnya masuk akal. Tapi tidak lantas membuatku suka dengan makhluk ini. Untuk bagian ini, aku berharap Jason dan Rachel, yang statusnya sebagai beyonders, ngasih saran bagaimana mengatasi makhluk ini. Maksudku, makhluk ini sering ada di film-film fiksi ilmiah, dan di film-film itu ada cara bagaimana mengatasinya. Tapi mereka, yah, diam saja.
Secara keseluruhan, Seeds of Rebellion masih cukup oke. Gambaran petanya cukup oke, dan satu-satunya buku dalam series yang dilengkapi peta, meski entah kenapa lokasi penting yang dituju para tokoh tidak disertakan. Sayangnya, bagiku, Seeds of Rebellion kesannya dipanjang-panjangkan. Dialognya, debatnya, adegan pertarungannya. Aku membayangkan, dalam kehidupan nyata, seandainya aku lawan bicara mereka, pasti aku sudah jatuh tertidur duluan. Tapi untungnya, kesan bosan ini tidak sampai jatuh "menyiksa" seperti Spiral dan Insurgent, sebab Mr. Mull masih menyelipkan beberapa humor di sana-sana—walau tidak sebanyak prekuelnya. Humor paling notable dari Seeds of Rebellion adalah celetukan Jason yang mengganti kata "walking" dengan "running." Sederhana memang, tapi mampu bikin aku tertawa terbahak-bahak.
Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::
0 comments:
Posting Komentar