Selama manusia masih menghirup oksigen (1), dan selama manusia masih hidup bersama dengan manusia lainnya, maka bisa dipastikan dia familiar dengan satu hal yang biasa disebut ekspektasi.
Ekspektasi. Bukan ekstasi (2). Bukan pula Eks Tasi karena seingatku Tasi (3) belum pacaran, jadi agak aneh bila dia sudah punya mantan patjar #krik #krik #krik
Apa sih ekspektasi? Aku rasa kalian sudah tahu apa itu ekspektasi, jadi aku tidak perlu menjelaskannya.
Bilang aja males jelasin, Jun -_-"
Aku nggak males. Suer. Aku hanya yakin di tahun 2015 ini sudah banyak teman-teman yang tahu soal arti dari ekspektasi. Atau kalau tak tahu artinya secara keseluruhan, setidaknya minimal tahu secara pemahaman. Apalagi kalimat seperti, "Bukunya bagus bingits, jauh di luar ekspektasiku!" atau "Katanya nih buku bikin mewek bombay dan rawit (?), tapi nyatanya... biasa aja. Jangankan nangis, yang ada aku malah pengen nampar nih tokoh saking to*beep*nya dia!
Oo-ke, aku rasa kalimat kedua agak kasar. Tapi aku rasa kalian tentunya familiar dong dengan kalimat yang pertama, kan? Nah, kurang lebih seperti itu.
Apanya yang seperti itu? -_-"
Aku sendiri juga tak pernah lepas dari ekspektasi. Tiap tahu bahwa sebuah buku telah diadaptasi ke layar lebar, atau ketika sebuah buku masuk dalam daftar buku-buku hebat, atau saat teman merepet mengenai buku-buku yang pantas dimasukkan ke dalam daftar buku terbaik abad ini, ekspektasiku melejit melampui pegunungan Himalaya pada buku-buku tersebut. Rasa penasaran mulai menggelayuti. Rasa penasaran menuntunku untuk memasukkan buku tersebut dalam daftar harapan. Dan ketika semesta menjodohkanku dengan mereka... akan timbul satu pertanyaan, Apakah ekspektasi tinggiku terpenuhi?
Tentu jawabannya (yang sederhana) ada dua jenis: ya dan tidak.
Beberapa buku yang jawabannya ya:
Beberapa buku yang jawabannya tidak:
1. The Fault in Our Stars by John Green (aku berharap aku paling nggak bisa berkaca-kaca, apalagi aku saat memutuskan membatja ini ingin sekali menitikkan air mata untuk membasahi mataku yang kering, tapi aku justru sering jatuh tertidur pas batja ini. Bagiku buku ini agak terlalu banyak quote yang membuatnya, bagiku, tampak tidak nyata.)
2. City of Glass by Cassandra Clare (dengan hype-nya yang ramai pakai dewa, otomatis dong aku berharap buku ini super wow tapi ternyata... Buku ini banyak hal tak pentingnya alias too much filler. Tapi secara karakterisasi cukup okelah. Hampir semua tokohnya punya karakter kuat.)
3. The Devil wears Prada by Lauren Weisberger (Bagusan adaptasi filmnya, aku mendrop bukunya di 1/4 perjalanan.)
4. Bridget Jones's Diary by Helen Fielding (Sama kayak buku di no. 3 cuman aku batja ini sampai halaman terakhir)
5. Peter Pan by James Matthew Barrie (aku mengira Peter seperti di banyak adaptasi filmnya, tapi ternyata tidak. Tapi aku suka dengan Wendy dan konsep Neverland-nya.)
6. Spiral by Roderick Gordon dan Brian Williams (kalau bukan karena temanku, ini buku sudah aku drop sejak 1/4 jalan. Buku yang sangat membosankan dan pace ceritanya sepelan siput. Sayang, padahal ide ceritanya oke punya.)
Terkadang, ada kalanya kita sudah bersiap-siap 'tidak menyukai' pada buku-buku yang telah mendapatkan reputasi buruk dari banyak orang, tapi entah bagaimana kita melawan arus dan malah menyukainya. The Casual Vacancy by J.K. Rowling adalah salah satu buku yang mana banyak orang mengalami kekecewaan setelah membatjanya, ada pula yang bilang buku ini kalau dijadikan serial (yang memang akan diadaptasi ke serial tv) bakal jadi tontonan emak-emak, tapi aku justru suka banget dengan buku yang bercerita mengenai perebutan kursi dewan kota yang kosong itu. The Casual Vacancy menguliti hakikat manusia ketika dihadapkan pada salah satu godaan terbesar manusia yakni, kekuasaan.
Terkadang pula, kita tak bisa tega memberi nilai buruk pada karya penulis favorit kita meski ekspektasi tinggi kita pada karya tersebut tidak terpenuhi. Beberapa karya dari penulis favorit yang tak memenuhi ekspektasiku antara lain:
1. Nick and Norah's Infinite Playlist by Rachel Cohn and David Levithan (aku sampai bikin semacam "pembelaan" [untuk diri sendiri] bahwa penyebab karya ini tak sebagus adaptasi filmnya karena ada campur tangan Rachel Cohn, hahah.)
2. Mini Shopaholic by Sophie Kinsella (Di sini Becky-nya bikin jengkel pakai dewa!)
3. Rise of Nine by Pittacus Lore (buku ketiga dalam seri Lorien Legacies ini mungkin seru bagi sebagian orang, dan menyuguhkan banyak aksi, tapi bagiku biasa saja karena tak melibatkan emosiku untuk mengikuti perjalanan para Garde.)
4. Pandemonium dan Requiem by Lauren Oliver (setelah Delirium begitu kerennya, Pandemonium dan Requiem menjadi novel dystopia-mainstream yang nyuguhin aksi dan kisah cinta yang biasa saja, bukannya deg-degan malah bikin ngantuk yang ada.)
Dan aku rasa... posting ini sudah terlalu panjang, hahah.
Ekspektasi itu sama seperti hal-hal lainnya. Punya sisi baik juga buruk. Atau tepatnya, baik dan buruknya tergantung si manusianya. Dan... ekspektasi akan terus ada selama manusia mempunyai penilaian pada semua hal. Pada buku, pada film, pada orang-orang di sekitarnya, dan bahkan pada hal-hal yang dicintainya (4).
Catatan kaki:
[1] Awalnya aku mau nulis udara, tapi karena udara banyak jenisnya, maka aku ganti dengan yang lebih spesifik #pakai-dijelasin-segala xD
[2] Jelas bukan ekstasi dong, secara kan itu barang terlarang!
[3] Ada gitu yang memberi nama putra dan putrinya Tasi? Tinggal tambahkan K ditengah dan jadilah salah satu jenis kendaraan umum.
[4] Meski terkadang, penilaian itu jauh lebih lunak dibanding penilaian untuk hal lainnya.
0 comments:
Posting Komentar